Buku kumpulan puisi "Bicaralah yang Baik-Baik" karya penyair M. Rohanudin.

arekMEMO.Com – Jika politik kotor, puisi yang membersihkan. Jika politik bengkok, sastra yang meluruskan.

Kata-kata ini begitu mengusik suara hati. Dan siapa yang menyatakannya –siapapun yang mencintai sastra– sangat mungkin tahu dari mana sumber pernyataan itu.

Siapa? Ya, betul : John F. Kennedy, presiden AS ke-35 yang tewas pada 22 November 1963, di Dallas, Texas, ditembak Lee Harvey Oswald seorang veteran marinir AS.

Banyak orang mempercayai bahwa peristiwa ini bukan digerakkan pelaku tunggal, melainkan suatu konspirasi politik, disebabkan visi Kennedy yang dianggap bertentangan dengan oligarki di AS saat itu.

Begitulah bahwa orang yang mencintai puisi, sosok yang senantiasa mendambakan sastra, dipercayai sebagai humanis — menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.

Demikian juga dengan Kennedy, ketika humanismenya dianggap terlalu tinggi sehingga ditengarai mengganggu sistem kapitalisme AS, maka pelenyapanpun “terpaksa” dilakukan — begitu setidaknya opini yang berhembus saat itu.

Dalam konteks jagad puisi, barangkali perspektif itu bisa saya hubungkan dengan pernyataan Kennedy di alinea pertama artikel ini, berkaitan puisi karya seorang penyair kelahiran Sumenep, Madura : M. Rohanudin.

Hal itu akibat saya mencoba meresapi puisi berjudul ‘Bicaralah yang Baik-Baik’ yang termuat pada buku kumpulan puisi Bicaralah yang Baik-Baik yang menyajikan 27 puisi — ditulis oleh penyair kelahiran Sumenep tersebut.

Puisi yang termuat pada halaman 30-31 buku kumpulan puisi ini, mengingatkan kita untuk tidak gampang bicara, tidak asal bunyi — dalam konteks lalu lintas opini pada era post truth yang begitu sulit dikendalikan. Sehingga masyarakat dibikin gagap mengartikulasikan dimana sesungguhnya posisi kebenaran.

Maka inilah zaman kasunyatan semu, era post truth yang menyebabkan masyarakat terjebak pada kubangan kebenaran palsu.
Seolah-olah benar, tapi sesungguhnya jauh dari benar.

Dan sumber dari semuanya itu –antara lain– adalah politik konspirasi yang dilempar ke masyarakat menggunakan banyak cara. Di antaranya dengan mengacaukan lalu-lintas opini yang lantas mendominasikan kebenaran palsu itu.

Ketika M. Rohanudin membuka bait pertama puisi berjudul ‘Bicaralah yang Baik-Baik’ yang menarasikan gonjang-ganjing politik, di situlah rasa kemanusiaannya tercuat menyentuh :

di hari-hari politik yang panas
kita semakin murung
merasakan Indonesia yang gelisah
Indonesia yang cemas
badannya berkeringat dan gemetar
lantaran kehilangan ruh dan energi
sibuk menepis suara-suara sumbang
tak berirama

Dari baris pertama bait ke-1 puisi : di hari-hari politik yang panas, kita sudah bisa menebak sebagai reaksi apa. Sangat boleh jadi itu berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu. Atau : Pilkada, misalnya.

Dan suasana itu digambarkan Rohan sebagai ‘mereka yang menengadahkan kebenaran, penegakan keadilan, kecerdasan, kesuburan pikiran’ : bukan kegaduhan.

Pada bait ke-3 puisi ‘Bicaralah yang Baik-Baik’, M. Rohanudin menggunakan metafora ontologis. Menggambarkan keperkasaan burung garuda yang mulutnya memuntahkan kemarahan. Mengajak para pemangku masjid, gereja, pura, vihara, dengan bahasa isyarat menggosok-gosokkan paruh dan cakarnya di dinding-dinding rumah ibadah itu, agar ikut berperan-serta mengajak masyarakat untuk senantiasa bicara yang baik-baik. Sebab, kita sedang berjalan di pematang yang licin …

Pada bait terakhir puisi ini –bait ke-6– M. Rohanudin mencoba memperingatkan :

dengarkan semua :
rakyat bukan musuh
bukan alat tabuh genderang perang
rakyat adalah penentu tertinggi. merajut kohesi bangsa,
kedaulatan dan kemanusiaan
bersatulah Indonesia

Perhatikan baris 4-7 bait terakhir puisi ‘Bicaralah yang Baik-Baik’ ini : _rakyat adalah penentu tertinggi merajut kohesi bangsa,/ kedaulatan dan kemanusiaan/bersatulah Indonesia

Di sini sesungguhnya ‘kedaulatan dan kemanusiaan’ dualisme yang tak bisa dipisahkan, mirip esensi kisah tragis Kennedy. Tentu masih ada kisah-kisah tragis lainya yang inspiratif yang dijadikan para penyair sebagai api kreativitas dalam menegakkan kebenaran. Tentu bukan kebenaran palsu yang melanda masif di zaman kasunyatan semu ini.

Dan itu ditorehkan oleh M. Rohanudin ke dalam rangkaian kata-kata menyentuh. Sehingga saya makin yakin bahwa sesungguhnya bahasa paling indah adalah puisi. (Amang Mawardi).