Mengapa Arek Memo?

Dua bulan lagi usia sy genap 60 tahun. Tentu saja bisa dibilang usia senja. Namun banyak sisa2 semangat yg membuat sy ingin tetap eksis hidup di alam Jurnalistik, lalu sy mencoba merealisasikan. Tentu banyak pihak yg ikut memompa semangat sy, tapi ada satu yg begitu ikhlas ingin menyelamatkan hidup sy yg dapat sy bilang stengah mati (antara hidup & mati), yaitu Mbah Agus, teman, sahabat, saudara sekaligus guru sy.
Begitu sy mengutarakan niat sy bikin website sekaligus Tabloid Berita Mingguan (masih wacana) bernama arekmemo.com, Mbah sangat setuju. Apalagi waktu sy katakan, sy ingin banyak teman bisa hidup dari Arek Memo

Sy bekerja di Harian Pagi Memorandum (Memo) sejak Februari 1982. Saat itu sebenarnya sy yg berstatus mahasiswa tingkat tiga Akademi Wartawan Surabaya (AWS) sdh bekerja menjadi wartawan di Harian Pos Kota Perwakilan Jawa Timur.


Saat itu, Harian Jawa Pos yg terbit pagi hari sdh mati. Bgitu juga Harian Suara Indonesia. Jadi koran di Surabaya tersisa Surabaya Post, itupun harian sore, serta koran-koran kecil seperti Radar Kota dan Surabaya Minggu.


Saat itu Mingguan Memorandum (awalnya Mingguan Mahasiswa) milik Alm. Pak Agil H. Ali diberi ijin menjadi harian. Dari sinilah banyak teman AWS jebol desa bergabung ke HP Memorandum.

Skitar 2 bulan menikmati menjadi wartawan Memo (saat itu masih menjadi koran putih, belum kriminal seperti sekarang), benar2 punya greget. “Kami selalu membela kebenaran, berdiri di atas kejujuran” dimana ada ketidak adilan kami hadir membela rakyat. Berbagai pihak menghadang keberanian kami, termasuk penguasa dan pengusaha, hingga beberapa kali kami ditahan karena berita2 keras menentang arus pada Jaman Orde Baru.


Tiba2 Jawa Pos dibeli oleh Majalah Berita Mingguan Tempo. Puluhan, bahkan ratusan wartawan eksodus pindah ke JP baru dgn iming2 gaji besar, yg baru terbit dikomandani Dahlan Iskan (reporter Tempo di Surabaya).
Termasuk puluhan wartawan Memo. Hanya segelintir orang yg tetap setia memdampingi pemimpin redaksi sekaligus pemilik Memorandum H. Agil H Ali (Alm).


Singkat cerita hingga akhirnya Memo dibeli JP yg menurut Mas Agil “dirampas” oleh Dahlan Iskan untuk dibonsai…. tdk ada koran di Surabaya dan Jatim yg boleh besar, kecuali Jawa Pos…. Hingga Mas Agil wafat masih menyimpan rasa tidak suka kepada Dahlan Iskan.


Tentu, banyak kader Mas Agil (eks wartawan Memorandum) tersebar di berbagai daerah. Mulai yg tetap eksis mengelola, bekerja di media massa, pemborong bangunan, beralih menjadi politisi, bertani di desa, bikin warkop, yg tentu mereka tdk akan lupa sejarah. Maka Arek Memo ini sy bikin untuk menjadi sarana silaturahmi teman2 bekas Memo. Siapapun yg merasa pernah bekerja di Memorandum monggo bergabung, menulis apapun…. sy berharap Arek Memo dapat menyantuni banyak teman, khususnya menyantuni pikiran yg baik untuk memberi pencerahan di masyarakat.


Hal lain yg ada dalam pikiran sy: kenapa Arek….. Tentu arek itu adalah anak yg menjelang remaja, generasi melenial….. generasi inilah yg mencoba kami sasar: Bagaimana melindungi mereka? Bagaimana mengayomi mereka? Bagaimans mendidik mereka? Bagaimana menyelamatkan mereka? Dari carut marut wajah negeri ini yg semakin bopeng oleh keserakahan serta kesewenang-wenangan oknum nakal.
Semoga Allah SWT melindungi. (cAk bOnd)