SURABAYA, arekMEMO.Com – Ibarat dua sisi mata uang, menyertai perjalanan hidup Amang Mawardi. Yakni, jurnalistik dan seni. Keduanya saling menopang, seiring sejalan. Alumni Stikosa-AWS ini terus berproses dan berkarya di usianya yang makin senja.

Menandai usianya yang genap 70 tahun dan pergulatannya yang tiada henti selama 50 tahun di dunia literasi,  Minggu (5/11/2023), Amang Mawardi merilis Buku “Waktu Tak Pernah Menipu.” Buku antologi puisi karyanya dilanjut talk show dengan pembicara Prof Dr Soetanto Soephiadhy di Rumah Dedikasi Soetanto Soephiady, Jl Semolo Waru Elok, Surabaya.

Buku antologi puisi ini merupakan buku antologi kedua yang ditulisnya secara perseorangan. Sedangkan kumpulan puisi bersama beberapa penyair lain cukup banyak jumlahnya, antara lain antologi puisi yang ditulis bersama komunitas wartawan usia emas (Warumas).

Dalam hal menulis buku, alumnus Stikosa-AWS tahun 1977 ini sudah menghasilkan 16 buku, yang dimulai sejak tahun 2007. Selain menulis puisi, cerpen dan bermain teater, Amang Mawardi juga dikenal sebagai EO pameran lukisan. Ia pernah mengadakan event pameran lukisan di Bangkok, Australia dan Singapura. Tahun 2002 Amang bahkan menerima penghargaan dari Gubernur Jawa Timur kategori Penggerak Kesenian.

Sedangkan di sisi jurnalistik, perjalanan karir dan prestasinya sangat panjang. Karir jurnalistiknya diawali tahun 1975 saat menjadi koresponden Harian Pos Kota di Surabaya, sambil kuliah di Akademi Wartawan Surabaya (sekarang Stikosa-AWS). Selanjutnya 12 penghargaan kejuaraan jurnalistik, karya tulis dan kejuaraan lomba foto jurnalistik juga dikoleksinya. Namun Amang terus bergerak, terus menulis, walau kini ia tidak terikat atau bekerja di perusahaan media manapun.

“Wartawan itu tidak mengenal pensiun. Dan puncak karir wartawan, bukan sebagai pemimpin redaksi atau pejabat tinggi. Puncak karir wartawan adalah menulis buku. Sedangkan puncak jurnalisme adalah humanisme,” kata Amang,  penuh semangat. Ia terinspirasi dari karya-karya jurnalistik sahabatnya, Peter A. Rohi (alm), seorang wartawan idealis dan mengedepankan humanisme dalam tulisan-tulisan jurnalistiknya. Kenangan bersama sahabatnya itu ia tulis dalam buku “Senja Keemasan Peter A. Rohi” pada tahun 2021.

Maka walaupun tidak lagi bekerja sebagai wartawan di perusahaan media, Amang terus menulis berbagai artikel yang dishare di FB-nya maupun di beberapa media online.

Tulisan-tulisan itu kemudian dikumpulkan dan diterbitkan sebagai buku. Di tahun 2023 ini, sudah dua buku yang ia terbitkan. Yakni, Memoar Wartawan Biasa Biasa, Di Senja Waktu Aku Tulis Buku dan kumpulan puisi tunggal kedua ini. Selebihnya 4 buku kumpulan puisi yang diterbitkan bersama komunitas Warumas.

Dalam kesempatan tersebut, Prof Soetanto Soepiadhy,  yang juga dikenal sebagai penyair, menyebut bahwa karya-karya Amang Mawardi mengeksploitasi hal-hal kecil yang kemudian tereksplorasi ke persoalan umum. Profesor ilmu hukum itu mengambil contoh tentang tulisan Amang yang punya nilai humanis, yakni  kisah obrakan di emperan Apotek Simpang yang membuat si wartawan (Amang Mawardi) kebingungan. Tulisan Amang tersebut jika lebih dieksplor lagi tentang kisah Pak Susilo yang dagangan majalahnya dirampas oleh Satpol PP, tentu akan menjadi lebih humanis.

Acara talk show di rumah dedikasi Soetanto Soephiady ini berlangsung semarak, dipandu wartawan & penyair Toto Sonata dan penampilan spesial musisi Bambang Jon dan Arul Lamandau. (sas/kar)