Seberapa jauh melangkah suatu ketika perlu berhenti. Seberapa lama berdiri pada saatnya akan duduk juga. Itu semua dilakukan supaya ada jedah untuk membuat keseimbangan hidup. Begitu pun suatu ritual perlu dilakukan sebagai penyegaran ruhani, selain mengasah kepekaan menghayati ruang meta yang tak terjamah pikiran.

Iki ngomong apa sih? Kok ngalor ngidul gak jelas temae? Hahahaha…

Gini lho. Ini kan bulan Sura, berdasar budaya Jawa merupakan Tahun Baru. Bedanya dengan tahun baru Masehi di akhir Desember biasa diwarnai dengan pesta pora, namun bagi pewaris ajaran Jawa atau Islam Jawa dianggap sebagai Bulan Prihatin. Perlu prihatin, mengerem kehendak yang bersifat material, kemudian menggeser aktivitas secara spiritual. Semacam ngecas baterai yang sekian lama “on” terus menerus.

Sura berkaitan erat dengan peristiwa Asyura. Sebuah peristiwa berdarah yang dialami oleh cucu Rasulullah Muhammad di Karbala. Dimana Hasan dan Husein dibunuh oleh sesama Muslim yang bersebrangan paham. Kisahnya teramat sadis untuk ditulis. Hingga kini kesedihan itu tak pernah sirna di hati pecintanya. Oleh sebagian masyarakat di bumi ditandai dengan penuh keprihatinan melalui beragam ritual.

Di kalangan masyarakat Jawa, menabur bunga di perempatan jalan merupakan simbol doa penghormatan bagi cucu Rasulullah yang penggalan kepalanya diseret sepanjang jalan. Semoga dengan bebungaan yang ditabur di jalanan mengharumkan perjuangannya dalam menjaga sikap membela kebenaran. Dengan wewangian bunga itu pula diharap bisa menyirnahkan segala kebusukan yang mengendap di hati manusia serta menghapus segala balak yang bakal menimpa.

Karena Sura dianggap sebagai Bulan Prihatin bagi penikmat buah perjuangan para pahlawan kebajikan, maka tidak sepatutnya melakukan hal² yang bersifat suka cita. Sebagian masyarakat Jawa tidak menggelar hajat pernikahan atau beragam acara kesenangan kemudian melakukan ritual spesifik untuk mengasah ruhani.

Lalu apa yang sampeyan lakukan? Kenapa tanya²? Jangan² sampeyan cuma bisa nulis, seneng tutur² tapi nggak ngelakoni. Itu sih namanya turkoni, iso tutur² gak iso ngelakoni. Hahahaha…

Bagi awak, setiap Sura, ada hari² spesial yang diperintahkan oleh Guru Ruhani untuk melakukan puasa tiga hari yang hitungan weton-nya bernilai 40 atau 41 hari. Selama ritual, awak tinggal di kamar sendirian. Hape dan lain² off.

Untuk tahun 2020 jatuh pada hari Kamis Kliwon, Jumat Legi, Sabtu Pahing di bulan Agustus. Dari tiga hari puasa tersebut diakhiri “Poso Ngebleng  Pati Geni”. Tidak makan, tidak minum, melek selama 24 jam sambil terus wirid secara shir, tanpa mengucap tapi dzikirnya mengalir seirama. Itulah yang menjadi tasbih, terus berputar dari hati ke arah otak sisi kanan.

Apa yang menarik dari ritual tersebut. Pada saat Pati Geni, Sang Guru menguji kekuatan muridnya dengan mengirim sinar neraka. Rasanya gimana? Wadoooo … Jangan tanya betapa panase guys?. Yang nggak kuat, jika wiride oleng, semedie goyang, nggak fokus, bisa ngosek. Kok gitu? Panasnya api neraka itu nggak bisa mematikan tapi kadar panasnya di hati, Hmmm .. Aduhai gez…

Apa ngelakoni gini ini pingin sakti? Sakti pret ta? Nggak ada maksud sing aneh², ini sekedar melatih diri agar tatag menghadapi kenyataan. Sepanas dan sepahit apapun yang terjadi, siap selalu.

Mumpung Suro, awak ingin berbagi info ringan pada teman² bahwa tradisi ritual seperti ini masih banyak yang melakukan dengan pemahaman kontemporer agar ilmu warisan leluhur tidak terkubur di tengah peradaban now. Jadi tidak ada niatan pingin pamer ato sok-sokan. Biasa ajah lah.

Tak kira habis Poso Suro bisa nyetak duwit goib? Lambemu gezzz… Hahahaha…

@Rokimdakas