INILAH sepakbola. Olahraga milik semua orang. Hari-hari ini perhatian dunia tertuju pada piala dunia Qatar 2022. Tak terkecuali bagi mereka yang tinggal di  pelosok desa atau kampung. Mereka menikmati  helatan akbar ini lewat tayangan layar televisi.

Senyampang dibalik  kemeriahan pesta bola dunia, dalam angan kecilku teringat pertandingan bola Tarkam: Antar-kampung. Itung-itung memutar kembali ingatan sekian tahun lalu. Sekitar tahun tujuhpuluhan di desa-desa  boleh dibilang punya klub sepakbola walau secara manajemen  tak dikelola dengan sempurna. Pokoknya ada perkumpulan sepakbola. Terkesan berdiri asal-asalan.

Kebanyakan saat itu, para pemain di kampung-kampung hampir dipastikan tak pakai sepatu bola. Ya, mohon dimaklumi. Tak ada kursi layaknya stadion. Penonton pun duduk rapi di pinggir lapangan.

Inilah unik dan menariknya. Bola yang dipakai dalam bertanding  pun  saat itu kadang cuma satu. Tak ada cadangan bola.  Yang ini juga mohon dimaklumi, karena keterbatasan.

Bertanding praktis hanya memakai satu bola kulit. Itu pun bolanya masih pakai, seperti ban dalam sepeda. Cuma bentuknya lain.  Bundar mengikuti lingkar bola. Walau saat itu sudah ada bola otomatis tinggal pompa lalu dipakai, lagi-lagi keterbatasan dana untuk beli.

Setelah ditutup dan diikat dengan tali khusus, bola baru bisa dipakai bermain.  Bola akan menjadi keras atau membatu seperti batu bila sebelumnya kena air kemudian dikeringkan. Bila digunakan heading, kepala sakitnya minta ampun. Serasa pusing.

Celakanya lagi  bila bola masuk sungai atau waduk, pertandingan terhenti sejenak. Sebab, posisi lapangan di desaku ini  kurang strategis. Terhimpit keberadaan air. Sebelah utara berdampingan kali sedangkan sebelah selatan ada waduk.

Lebih parah lagi gawang tak ada jaring pengaman.  Jika bola ditendang  masuk gawang, maka   tanpa permisi nyelonong ke sungai atau waduk penuh air. Ujung-ujungnya panitia pertandingan sibuk nyebur kali atau waduk mencari bola. Sementara menunggu pencarian bola, para pemain di tengah lapangan ngobrol sambil duduk-duduk.

Begitu bola ditemukan para penonton bersorak dan pertandingan diteruskan. Hebatnya, para pemain yang tak pakai sepatu ini kakinya seakan  tak pernah merasa sakit. Semuanya baik-baik saja. Walau kadang antarpemain beradu kaki keras –istilah mereka gaprakan– memperebutkan bola,  sakitnya  mungkin  tak dirasa.  Ditahan! Mungkin malu, sakitnya tak ditampakkan.

***

Pertandingan sepakbola di desaku saat itu selalu mempercayakan pada satu orang wasit.  Dialah Pak Teman yang juga salah satu tokoh masyarakat. Pria paro baya di zamannya ini dinilai tegas. Tanpa memihak pada kesebelasan mana pun. Tak seperti layaknya wasit,  dia juga tak pakai  seragam wasit dan tak bersepatu.

Pak Teman sebagai wasit yang tegas selalu pakai celana pendek, tapi kelihatan agak kedodoran. Dalam setiap penampilan tak lupa dia juga selalu pakai  topi laken. Itu lho, topinya para koboi yang sering kita lihat di film-film menunggang kuda menggembala sapi.

Toh, Pak Teman tampil piawai. Ketegasannya sangat digemari penonton sepak bola kampung alias tarkam. Inilah ciri khasnya setiap menemukan pelanggaran. Bila  ada pemain  tangannya menyikut lawan, lalu dia membunyikan peluit panjang. Kemudian  memeragakan aksi main sikut itu. Memperjelas pelanggaran yang dilakukan. Sikutnya digerak-gerakkan berulangkali.

Satu lagi yang kuingat, di kantong bajunya saat bertindak sebagai wasit tak pernah menyimpan kartu kuning atau merah. Jadi,  selama pertandingan pemain tak pernah ada yang kena hukuman kartu kuning apalagi kartu merah. Semuanya berjalan aman. Baik-baik saja.

Pun dalam memimpin pertandingan Pak Teman sering tampil seorang diri. Tanpa dibantu hakim garis. Tapi bila ada penonton yang sukarela menjadi hakim garis dipersilakan. Ada atau tidak ada hakim garis  semua berjalan wajar. Penonton pun hepi.

Lebih hepi lagi penonton para anak kecil. Saat turun minum atau setengah permainan tanpa dikomando puluhan anak-anak berhambur ke tengah lapangan. Ramai-ramai menjemput bola. Bola yang dibuat tanding tadi jadi rebutan. Tendang sana, tendang sini.   Ada keseruan ala anak kecil di  tengah lapangan! Hiburan dadakan.

Lapangan penuh anak kecil. Saling rebut bola. Tapi begitu giliran tanding dilanjutkan  suasana lapangan sontak sepi lagi. Para bocah kembali pada posisi awal. Menonton sambil duduk lesehan di pinggir lapangan. Kini, yang ada di tengah lapangan hanya para pemain dari dua kesebelasan.

Lalu, Pak Teman pun dengan sigap memimpin pertandingan. Kick off babak kedua dimulai. Peluit yang dipegang ditiup kuat-kuat. Terdengar bunyi keras:  Priittt….!!!  (karyanto)