Awal mulanya berupa tari garapan, Kidung Tengger karya Heri Lentho dikembangkan menjadi sendratari serta mengilhami Sosiawan Leak untuk menulis puisi. Hasil ekplorasi tersebut kemudian menjadi ikon Eksotika Bromo yang telah digelar untuk ketiga kalinya, pada 13-14 Juli 2019 dengan animo penonton yang menggembirakan. Sensasi Eksotika Bromo adalah mengolah lautan pasir Bromo sebagai panggung terbuka berlatar pegunungan yang begitu indah.
Sebagaimana tontonan tari, panggung merupakan tempat berlangsungnya sebuah pertunjukan dimana ditampilkan adanya interaksi antara sutradara dan penari di hadapan penonton. Di atas panggung itulah semua adegan, narasi dan simbol gerak disajikan agar penonton menangkap maksud repertoar yang dirancang panjang.
Yang menarik disimak adalah adanya tema utama yang ingin memberi penghargaan pada Tengger secara holistik. Baik penghormatan pada alam, leluhur yang telah mewariskan bumi Tengger pada anak cucu keturunannya, serta pedoman hidup (baca: agama), budaya serta keluhuran nilai kehidupan masyarakatnya yang toleransi yang sampai detik ini terawat.
Atas spesifikasi yang dimiliki, budaya Tengger menjadi salah satu entitas atau wujud kebudayaan yang mewarnai jatidiri Jawa Timur. Budaya Tengger tetap tegak berkembang bersama budaya Arek, Ponoragan, Pendalungan, Mataraman, Samin, Madura dan Osing di timur Jawa.
Kidung Tengger dipersembahkan sebagai simbol penghormatan berupa karya tari oleh Heri Lentho, sutradara Eksotika Bromo (EB) yang dirilis sejak 2017. Even tersebut terbentuk atas kerjasama komunitas Jatiswara Indonesia bersama Sanggar Wahyu Tunas Budaya Desa Jetak Tengger.
Untuk menarik animo masyarakat, pada even perdana dilakukan pengerahan penonton berdasar instruksi Bupati Probolinggo agar setiap kecamatan mengirimkan rombongan penonton. Keberhasilan tersebut, menarik Kementrian Pariwisata RI dan Markplus Center For Tourism and Hospitality mencatat sebagai 100 Events Calendar Of Event Wonderful Indonesia pada tahun 2018.
Even dukungan Disbudpar Jatim dan Kabupaten Probolinggi ini penghargaannya merangkat ke dalam posisi 30 destinasi pilihan wisata di Indonesia.
Pada umumnya kesenian tradisi yang berkembang sekarang lahir dari kesenian kontemporer pada zamannya, kemudian berkembang oleh adanya masyarakat pendukung. Kidung Tengger tampaknya mengikuti proses tersebut, tema besar ini terus dikembangkan oleh Lentho menjadi sendratari kolosal disertai pematangan pada konsep garapan agar menjadi tontonan yang utuh dengan daya pikat yang kuat. Lentho membuktikan pada gelaran Eksotika Bromo III sebagai keberhasilan proses.
Eksotika Bromo digelar menyongsong Hari Raya Yadya Kasada. Repertoar Kidung Bromo mengudar sejarah Yadya Kasada sebagai hari upacara sesembahan sesajen kepada Sang Hyang Widhi dan para leluhur setiap bulan Kasada hari-14 dalam Penanggalan Jawa.
Adalah Rara Anteng (Putri Raja Majapahit) dan Jaka Seger (Putra Brahmana), asal mula suku Tengger di ambil dari nama belakang keduanya, Teng-Ger.
Pasangan tersebut membangun pemukiman sekaligus memerintah di kawasan Tengger bergelar Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger atau Penguasa Tengger yang Budiman.
Mereka tidak dikarunia anak, kemudian melakukan semedi kepada Sang Hyang Widhi. Muncul suara gaib mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul dengan syarat, bila mendapatkan keturunan hendaknya si anak bungsu dikorbankan ke kawah Gunung Bromo.
Pada perkembangannya suami istri tersebut dikarunia 25 putra – putri. Namun naluri orangtua tidak tega bila kehilangan anaknya. Karena dianggap ingkar janji, Dewa berubah marah seraya mengancam akan menimpahkan malapetaka. Kondisi lingkungan berubah gelap gulita, kawah Gunung Bromo menyemburkan api, anak bungsunya yang bernama Kesuma, terjilat kobaran api, terperosok ke dalam kawah Bromo lalu lenyap.
Bersama hilangnya Kesuma, muncul suara gaib, “Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orangtua kita dan Sang Hyang Widhi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Sang Hyang Widhi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Sang Hyang Widhi di kawah Gunung Bromo”.
Anjuran tersebut menjadi tradisi turun temurun pada masyarakat Tengger. Setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten, yaitu sebidang lahan di lautan pasir dan kawah Gunung Bromo. Untuk tahun 2019 Hari Raya Yadya Kasada.berlangsung pada hari Selasa, 16 Juli.
Begitu panjang tarian yang ditata untuk menterjemahkan alur sejarah purba tersebut ditangani oleh Albert, Rizza Ahmad Dwi Saputra, Dian Ayu Anggraeni, Yuniar, Mita, Famida, Yuga Pangestutik dan Nihayah. Beragam adegan disajikan, mulai fragmen kehidupan, romantika asmara Roro Anteng dan Jaka Seger, pesta perkawinan, kelahiran Kesuma hingga persembahan agung kepada Sang Hyang Widhi.
Dramatisasi diiringi puisi Kidung Tengger karya Sosiawan Leak sebagai pengiring penonton untuk memahami repertoar ketika menikmati komposisi yang terentang panjang. Alunan gending yang ditata Joko Susilo mengharu biru, dan Paramarta melontarkan begitu gegap.
Emosi publik dibuai dengan beragam adegan yang begitu dinamis. Konfigurasi penari dan figuran menghiasi ruang panggung dengan beragam komposisi yang memanjakan mata penonton dengan sentuhan estetika menawan. Suasana semakin menyayat ketika Pritaa Kartika memungkasi adegan dengan tembang Earth Song (Lagu Bumi) Michael Jackson.
Penonton terkesima, tidak sedikit yang melinangkan air mata menghayati akan kerusakan alam akibat nafsu angkara murka orang-orang tamak hingga nilai-nilai kemanusiaan terkikis. .
Applaus untuk Kidung Tengger ….
(by Rokimdakas)