Sebagian komunitas kesenian Jawa Timur sedang asik bergunjing tentang Dewan Kesenian Jawa Timur yang hendak menggelar musyawarah daerah ke-5 guna memilih ketua pada 25-27 Juni di Sidoarjo. Tampaknya kursi ketua umum banyak yang ngiler untuk menduduki. Why? Diduga adanya subsidi dana dari Pemprov yang lumayan gedé sekitar Rp 1,5 milyar memicu air liur.

Jadi teringat Pilpres baru lalu, Jokowi dihantam fitnah sedemikian jahat seperti ndak ada baiknya babar blas di mata kubu Wowo. Begitu juga nuansa pemilihan ketua DKJT kali ini, si petahana difitnah tanpa jedah melalui retorika yang ditebar  pada portal berita, lalu digoreng rame². Lucué, pemfitnah lupa nggerayahi “jithoke”   yang boloten. Pendeknya, entèk ngamèk kurang golèk, olèhé ètrèk². Gerombolan kucing garong sedang bersekutu mengincar sekeranjang pindang. 

Semakin ada orang difitnah, aku makin tertarik untuk menelisik. Apa benar seburuk itu pengelolaan DKJT? Semua data aku pelajari, baik laporan program maupun pijakan hukum kelembagaan serta menguras sumber Taufik “Monyong” Hidayat selaku ketua DKJT juga menghubungi beberapa ketua dewan kesenian daerah.

“Ibarat nakhoda, saya ini mewarisi kapal remek,” Monyong membuka percakapan di ruang kerjanya. Kok bisa? Kapal ini awalnya dinakhodai Fauzi yang terpilih sebagai ketua kedua kalinya melalui Musyawarah Daerah IV di Kediri walaupun kondisi kesehatannya bermasalah. Saat rapat pleno, teman² sepakat untuk melaksanakan program Musda,  ketuanya  duduk manis  ajalah. 

Masih dalam proses  penyusunan pengurus, saya diajak menemui Kadisbudpar Jatim, Jarianto. Saya masih ingat betul betapa saya orang yang tidak dikehendaki. Ketika Fauzi menyampaikan bahwa dia menunjuk saya sebagai wakilnya, Jarianto tampak njingkat. “Opo kowe ora salah milih? Potongane wong koyo ngono kok didadèkno wakil,” kata Jarianto. Saat itu saya tetep berdiri di bawah kusen pintu, belum dipersilahkan masuk, apalagi duduk di kursi.

Njilala kersané Allah, setahun pertama berlalu, Fauzi meninggal dunia kemudian saya ditunjuk untuk menggantikan. Yang jadi masalah adalah, keputusan Musda IV di Kediri telah mengikat struktur kepengurusan maupun kebijakan program.  Masing² departemen atau komite memegang pos anggaran. Ibarat imam shalatnya batal kemudian saya menggandikan shof.

Kalo ketua sebelumnya sedang jadi orang kantoran, saya seneng jadi orang lapangan dengan blusukan ke daerah², membangun silaturahmi, senyampang mengontrol usaha bioskop saya di beberapa daerah. 

Dari silaturahmi itulah saya ketahui bahwa kebijakan DKJT yang memusat  tidak dikehendaki oleh teman²  daerah, mereka juga mengharap bisa menggelar program DKJT. Sebagai jalan tengah  ditempuh tanpa menyalahi keputusan Musda IV adalah menggeser lokasi program ke  daerah. tapi anggaran tetap dikendalikan oleh pihak komite DKJT. Ini nggak bener tapi saya tidak bisa mengubah, jelas teman² komite tidak rela kehilangan kue.

Bagaimana dengan transparansi anggaran.? Kami tertib administrasi, kata Monyong. Selain tertib pelaporan, semua kegiatan DKJT di back up secara virtual di channel Youtube bertajuk DKJT disertai logo Pemprov Jatim dan DKJT. Di situ akan terpampang siapa saja pengurus yang aktif dan DK daerah yang dilibatkan melaksanakan program.

Perlu diketahui bahwa Provinsi Jawa Timur merupakan satu²nya wilayah yang kaya dengan kesenian daerah serta memiliki 11 sub kultur yang karakteristik. Sayangnya pihak pemerintah kota/kabupaten belum memaksimalkan potensi teman² DKD untuk membangun sinergi pengembangan kekayaan budaya lokal.

Pada Musda V, Monyong tetap ingin maju dengan membawa agenda besar sebagai penebus dosa masa lalu. Semua DK Daerah akan mendapat porsi anggaran yang sama, besaran nominalnya akan ditentukan sesuai persetujuan Pemprov. DKJT hanya berperan sebagai mediator, tidak menangani even kesenian, semua dilimpahkan ke daerah. 

Heroe Budianto, aktivis kesenian Surabaya menimpali, yang perlu dipahami oleh teman² bahwa masalah anggaran mendatang, pemerintah memperlakukan sistem token, tidak ada dana cash, dan pelaporan pada saat itu juga yang terkait langsung dengan pajak. Sehingga tidak bisa penundaan pelaporan  seperti  gaya lama serta tidak boleh menduplikasi program.. 

Menurut Heroe, kalo ada yang bermimpi ingin memimpin DKJT tanpa kesiapan matang sebaiknya tidak usah memaksakan diri daripada jadi tertawaan. Kalo orientasinya hanya ingin bagi² anggaran sebagai balas budi dukungan, sebaiknya diurungkan karena pasti akan berhadapan dengan hukum. Seorang ketua  harus punya waktu untuk organisasi, mampu berkomunikasi dengan jajaran stake holder,  visioner dan memiliki jiwa pelayan dan mau berkeringat. Jangan milih ketua yang cuma pinter retorika thok. Kalo syarat ini tidak punya, sebaiknya ngurusi rumah tangga ajalah daripada dipegat bojoé.

Gerombolan kucing garong yang tidak memiliki syarat  tetap saja intip² hendak mengadu nasib sambil bengak bengok menebar fitnah, tanpa melepas pandangan pada sekeranjang pindang.

(WRokimdakas 220619)