SURABAYA, arekMEMO.Com – Setelah absen dua bulan, Forum Pegiat Kesenian Surabaya (FPKS) kembali menyelenggarakan programnya pada Oktober 2025, dengan menggelar dua sesi acara pada hari Rabu 16 Oktober besok di Galeri Dewan Kesenian Surabaya, komplek Balai Pemuda, Jl. Gubernur Suryo 15 Surabaya.
Sesi pertama adalah acara peluncuran buku Antologi Puisi FPKS yang diadakan mulai pukul 16.00 sampai 17.00 WIB. Karya para penyair yang terkumpul dalam buku Antologi Puisi ini adalah hasil workshop penulisan kreatif puisi yang diadakan FPKS pada 17 Juni – 17 Juli lalu.
Tampil sebagai pembicara adalah Ribut Wijoto, selaku kurator/editor, Tri Wulaning Purnami dan Aniesday.
Sesi kedua merupakan seni pertunjukan, yang dimulai pukul 19.00 sampai 21.30 WIB. Sejumlah seniman/budayawan dan Sanggar Seni akan tampil unjuk karya, antara lain : Meimura, Hanifah Intan (Sanggar Anak Merdeka Indonesia), Rohmat Djoko Prakosa, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Sanggar Medhang Taruna Budaya, Soetanto Soephiady, Teater Crystal, Teater Q dan Teater Mata Angin. Kedua sesi acara tersebut disiarkan secara live strimming di kanal Youtube.
Menurut penggagas FPKS, Jil Kalaran, ketiadaan kegiatan dalam dua bulan tersebut disebabkan hampir seluruh areal di Balai Pemuda digunakan untuk Artsubs. Tapi sayang, di penghujung Agustus terjadi demontrasi besar di pusat kota, khususnya di depan Gedung Grahadi yang berdekatan dengan areal Balai Pemuda. Dan pemerintah kota terpaksa membekukan kegiatan di seluruh areal Balai Pemuda hingga September dan tak memperoleh kepastian kapan dibuka lagi. Bahkan Artsub pun ditutup lebih cepat dari jadwal semula, 7 September 2025.
Untunglah situasi kembali normal aman terkendali di bulan Oktober. Maka dengan tetap dijiwai semangat Arek Suroboyo yang egaliter dan gotong-royong, FPKS memutuskan untuk memulai kegiatan lagi pada Oktober 2025. Kebetulan, bulan Oktober adalah Bulan Bahasa. Maka tema yang diangkat kali ini adalah, Mulat Sarira Hangrasa Wani (berani berbenah diri/introspeksi), ujar Jil.
“Tapi justru di sinilah saatnya kita mulat sarira, yang dalam ajaran falsafat Jawa, berarti mawas diri, bercermin ke dalam, menimbang sikap dan berani mengoreksi kesalahan. Pada level individu, mulat sarira menjadi sarana mendidik hati, menundukkan ego sekaligus menguatkan tanggung jawab pribadi. Pada level negara, sebagai pengemban amanah rakyat, justru memiliki kewajiban lebih besar untuk mulat sarira. Sebab, setiap kebijakan pemerintah menyentuh hajat hidup orang banyak. Mulat sarira dalam ranah kenegaraan berarti keberanian untuk bercermin” ujar mantan wartawan harian Surabaya Post itu.
Lebih lanjut Jil mengatakan, ada salah satu ranah penting yang sering kali terabaikan, yakni kebudayaan. Padahal, kebudayaan adalah jalan pembangunan manusia yang paling dalam dan berkelanjutan. Melalui kebudayaan, masyarakat belajar mengenali dirinya, menumbuhkan solidaritas serta mengasah daya cipta dan kritis. Pembangunan yang hanya menekankan infrastruktur fisik tanpa menumbuhkan ruang budaya ibarat membangun rumah tanpa pondasi ; megah di permukaan, rapuh di dalam. Dukungan terhadap seni, literasi dan ekosistem budaya kerap minim. Bahwa di beberapa wilayah pelarangan pementasan, pembubaran diskusi atau pembatasan ekspresi masih sering terjadi.
Kritik dari seniman, akademisi maupun masyarakat sipil kerap dipandang sebagai ancaman, bukan masukan. Padahal, kritik sejatinya adalah wujud cinta warga kepada negeri, sebuah peringatan agar negara tidak salah jalan. Jika negara gagal melakukan mulat sarira dalam kebijakan kebudayaan, yang terancam bukan hanya kesejahteraan material, tetapi juga jiwa bangsa.
Negara yang membatasi kebebasan berekspresi akan melahirkan warga yang takut, miskin imajinasi dan kehilangan daya kreatif. Sebaliknya, bangsa yang memberi ruang kebebasan justru akan menuai inovasi, solidaritas dan optimisme. Maka, mulat sarira hangrasa wani harus dihayati sebagai prinsip moral sekaligus politik. Individu diajak rendah hati terhadap dirinya sendiri, sementara negara dituntut rendah hati di hadapan rakyat dan kebudayaan.
Maka Jil berharap, melalui tema ini FPKS mengajak seniman (juga warga kota) Surabaya untuk merayakan Bulan Bahasa dengan Mulat Sarira Hangrasa Wani untuk membangun hari ini dan esok. FPKS tak akan bosan untuk menyuarakan bahwa kota ini harus dibangun dengan payung kebudayaan untuk menuju kesejahteraan warganya.***