Oleh: Yunanto
Pakar strategi perang asal Tiongkok, Jenderal Tsun Shu, punya filosofi tentang perang dan kemenangan. Ia mendalilkan, “Mengalahkan lawan tanpa pertempuran, itulah seni paling tinggi dalam peperangan.”
Entah, mana yang lebih dahulu. Bangsa Indonesia pun punya filosofi elok, serupa. Dalam budaya Jawa, lazim didalilkan, “Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake“. Maknanya, bergerak ke sarang lawan tanpa bala bantuan, menang tanpa mengalahkan.
Bertolak dari dua filosofi tersebut ada dua hal esensial yang terkandung di dalamnya, yaitu “damai” dan “ambisi”. Korelasi antara dua terminologi itu, “damai” lazim dicapai setelah target pertempuran sarat “ambisi” berbuah kemenangan.
Terminologi “damai” dan “ambisi” dalam konteks kontestasi, seperti pemilu misalnya, saya rasa gayut (relevan) dengan situasi dan kondisi kekinian. Terlebih sekarang, masa penantian pengumuman pemenang pemilu secara legal oleh KPU RI, 22 Mei 2019 nanti.
Wajar Ambisi
Terminologi “damai” saya kutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti “tidak ada perang, tidak ada kerusuhan, aman.”
Lantas terminologi “ambisi” di KBBI diartikan “keinginan (hasrat, nafsu) yang besar untuk menjadi (memperoleh, mencapai) sesuatu (pangkat, jabatan, kedudukan)”.
Bertolak dari makna kata, “damai” dan “ambisi” dalam konteks kontestasi medan tempurnya ada di dalam hati nurani. Tentu, hati nurani masing-masing orang yang punya ambisi. Tak perduli siapa pun mereka.
Secara filosofis, hati nurani itulah medan tempur paling dahsyat bagi pemilik ambisi. Bagaikan perang Bharata Yudha, harus berlaga melawan ambisi sendiri yang telah menduduki (menguasai) hati nurani sendiri.
Dalam kadar tertentu, ambisi yang bercokol di hati nurani, baik-baik saja dan wajar-wajar saja. Ambisi menjadi tidak baik-baik saja dan tidak wajar-wajar saja manakala sudah melewati ambang batas kepatutan. Kadarnya sudah kelewat batas.
Ambisi berkadar kelewat batas lazimnya mengesampingkan akal sehat, membanting nalar, menjungkirbalikkan logika. Bahkan bisa lebih ekstrim, menihilkan tenggang rasa, sarat muatan curiga dan selalu berpraduga culas.
Tatkala ambisi sudah demikian mutlak mengkooptasi hati nurani, berdamai dengan ambisi merupakan hal mustahil. Ambisi telah memenangkan pertempuran. Padahal, sesungguh-sungguhnya justru pemilik ambisi yang kalah. Terkapar tanpa daya di bawah kendali hawa nafsunya sendiri.
Wajar Politik
Kemenangan ambisi dalam pertempuran di medan laga hati nurani, hanyalah “kemenangan seolah-olah”. Kemenangan semu belaka. Pemenangnya, sekali lagi, justru ambisi. Bukan hati nurani. Bukan pula nalar sehat.
Dalam jagat politik praktis, kemenangan ambisi sah-sah saja. Bila sebaliknya, tidak punya ambisi, atau ambisi lemah, malah dianggap tidak baik. Anggapan serupa itu, sekali lagi, lumrah di jagat politik praktis. Kiblatnya selalu kepentingan demi tercapainya tujuan.
Saya jadi ingat pernyataan Vladimir Lenin, pemimpin Uni Sovyet. Ia bilang, “Sesungguhnya tidak ada moral dalam politik. Hal yang ada adalah kecocokan dan manfaat. Bajingan sekalipun, jika cocok dan bermanfaat untuk mencapai tujuan politik, ya dipakai.”
“Aksioma” Lenin tersebut semakin menguatkan eksistensi ambisi di ranah politik praktis. Halal-haramnya cara, itu hal percuma dibahas.
Segala risiko dan akibat, itu urusan belakang. Urusan di depan adalah ambisi tercapai. Target gol bisa dihadirkan kasat mata.
Sungguh dahsyat perilaku ambisi di politik praktis. Benar kata Winston Churchil, Perdana Menteri Inggris zaman Perang Dunia II. Churchil mendalilkan, “Politik lebih berbahaya daripada perang. Di medan perang, Anda hanya bisa dibunuh satu kali. Di medan politik, Anda bisa dibunuh dan terbunuh berkali-kali.”
“Aksioma” Churchil tersebut bermuatan peringatan. Galibnya, hati-hatilah berkiprah di jagat politik praktis. Ambisi berpotensi jadi “biang keladi”, bila tak mampu mengendalikan. Sayangnya, “biang keladi” itu bersemayam di hati nurani masing-masing pemilik ambisi.
Tak pelak lagi, hanya pemilik ambisi yang bisa menaklukkan “biang keladi” dalam hati nurani sendiri. Syukur bila bisa mengadopsi “aksioma” Jenderal Tsun Shu, mengalahkan ambisi tanpa peperangan berkecamuk dalam diri. Strateginya, boleh jadi dengan mengoptimalkan daya nalar dan menjernihkan pola pikir rasional.
Dari perut Bumi Pertiwi, ada satu filosofi indah yang, barangkali saja, bisa diimplementasikan dalam konteks berdamai dengan ambisi. Filosofi dimaksud, “Sura dhira jayaningrat, lebur dening pangastuti”. Makna luasnya, ambisi yang menggelegak kelewat batas, akhirnya bakal luluh lantak melawan kelembutan yang penuh kebajikan, rasional, dan toleran.
* * *
*Penulis alumni Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta; wartawan Harian Sore “Surabaya Post” 1982-2002.