Demi Allah, bukan Kami benci hingga mengirimmu jauh ke Pesantren. Bukan kami tak cinta wahai anak kesayanganku. Kami bahagia melihat tangismu hari ini saat kami tinggal pulang. Kelak suatu saat kau kan merindukan tangis perpisahan itu….
Selamat berjuang, Nak ! Nanti juga kau kan paham mengapa kami titipkan engkau di Pesantren. Maafkan kami tidak bisa seperti orang tua lain. Memberimu segudang fasilitas dan kemewahan. Maafkan kami hanya bisa memberikanmu fasilitas (akhirat)….
Jadilah pembela ibu dan Bapak di hari pengadilan Alloh kelak. Dengan menjadi (santri) kami harap engkaulah yang mengimami sholat jenazah kami nanti, menggotong keranda kami, memandikan diri kami, membungkus kain kafan kami, Tak perlu kami memanggil ustadz-ustadz untuk mendoakan.
Untuk apa…?
Bukankah nanti saat kami berbaring di ruang tengah dengan kaku. Ada anak2ku di samping kepalaku…. Itulah hari terbahagia kami nanti menjadi orang tua, Nak. Jenazah kami teriring (doa) anak-anak kami sendiri…
Bukankah junjungan kita Baginda Nabi ﷺ pernah berkata, saat kita semua mati semua amal akan terputus kecuali tiga perkara. Do’amu lah salah satunya.
Laa takhof wa laa tahzan, Nak.
Di Pesantren sangat mengasyikkan. Temanmu teramat banyak seperti keluarga sendiri. Pengalamanmu akan luas. Jiwamu kan tegar. Kesabaranmu kan gigih. Kami hanya ingin kau bisa mendoakan kami sepanjang waktumu. Menyayangi kami di hari tua kami nanti. Selayaknya kami sayangi engkau di hari kecilmu. Kami tak ingin nanti ketika jenazah kami belum dikuburkan. Namun kau dan adikmu sudah menghitung-hitung harta, hingga permusuhan pun terjadi.
Selamat berjuang, Nak ! Dengarkan ustadz dan semua gurumu, muliakan mereka. Seperti kau muliakan ibu Bapakmu. Beliau-beliau adalah pengganti ibu Bapakmu di rumah.?
Selamat berproses, Nak !..
Berbahagialah, Nak… !
Tersenyumlah, Nak..!
Kelak kau kan paham. (Agus S)