Dari kiri ke kanan : Djoko Sungkono, Laksamana TNI (Purn) Sumardjono dan H.Indra Utama

JAKARTA, arekMEMO.Com – Pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono yang meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa seluruh pelaku usaha penangkapan ikan, menuai kritik tajam dari banyak pihak. Dinilai jauh dari empati.

Dalam acara International Day for The Fight Against Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing 2025 di Jakarta, Kamis 5 Juni 2025 lalu, Menteri KKP menekankan pentingnya audit BPK tersebut untuk memastikan pelaku usaha penangkapan ikan memberikan kontribusi maksimal terhadap negara, demi mendongkrak Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kelautan. Oleh karena itu, Trenggono meminta kepada BPK untuk memeriksa seluruh pengusaha penangkapan ikan.

“Badan hukumnya diperiksa, bayar pajaknya bener atau nggak,” ujarnya.

Trenggono menambahkan, PNPB di sektor perikanan tangkap seharusnya bisa mencapai Rp 12 triliun bukan stagnan di angka Rp 966 miliar seperti tahun 2024. Ia menyebut volume penangkapan ikan di Indonesia sekitar 7,5 juta ton. Apabila 10% dari total volume tersebut dibayarkan dalam bentuk ikan, negara dapat 750 ribu ton atau setara Rp 9 triliun dengan asumsi Rp 12.000 per kilogram.

“Sudahlah, jangan bayar pakai uang, bayarnya pakai ikan saja” tambahnya.

Langkah Dzalim
Kritik tajam datang dari Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). Dalam pernyataan tertulis, Minggu 8 Juni 2025, melalui Ketua Umum Laksamana TNI (Purn.) Sumardjono menyebut langkah KKP itu dzalim dan jauh dari empati.

“Tugas pemerintah adalah menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya, bukan menyeret rakyat ke ranah hukum karena persoalan pajak,” tegasnya.

Sedangkan Staf Ahli HNSI, Djoko Sungkono, menyebut, “pernyataan pak menteri Trenggono terkesan benar tapi kurang tepat bahkan tidak peka dan sangat memprihatinkan bagi komunitas nelayan.”

Faktanya, menurut Djoko, berdasar data tahun 2022, dari sekitar 3 juta nelayan di Indonesia, sekitar 2,4 juta adalah nelayan laut tradisional. Sebagian besar dari mereka bekerja dalam sistem ijon, tidak memiliki kapal sendiri dan tergantung pada pemilik modal. Sementara regulasi yang dibuat seringkali menyamakan mereka dengan pengusaha besar, tanpa melihat realita strata pada komunitas nelayan di lapangan.

Sementara illegal fishing dari negara tetangga seperti Thailand, Filipina, Vietnam dan Malaysia masih marak. Menurut kajian akademis, 75% sumber daya ikan Indonesia telah dieksploitasi secara berlebihan. Anehnya, bukan kapal asing yang diperiksa dengan ketat melainkan nelayan lokal diburu disertai aturan yang mempersulit mereka. Seperti zona yang terkotak-kotak bagi nelayan oleh adanya peraturan pemerintah daerah dalam mencari tambahan pendapatan asli masing-masing daerah.

Dalam kondisi nelayan sedang menjerit karena distribusi BBM tidak merata, sistem penangkapan ikan terukur (PIT) belum matang, pengawasan ekspor tidak transparan, justru akan ditambah adanya tekanan lewat Badan Pemeriksa Keuangan. Di sisi lain, banyak pihak bertanya – tanya, kemana hilangnya sekitar 1,4 juta ton BBM subsidi untuk nelayan? Apakah sudah diserap oleh mafia distribusi atau gagal tersalurkan karena birokrasi?

“Jika benar negara ini hendak menjadikan laut sebagai masa depan bangsa seharusnya nelayan diposisikan sebagai mitra strategis bukan obyek fiskal” tandas Djoko.

Menurut Djoko, HNSI sebenarnya pernah mengusulkan program prioritas strategis menyangkut pemetaan kebutuhan BBM subsidi, penyusunan database nasional nelayan, perlindungan sosial atas resiko kecelakaan maupun kematian juga penguatan koperasi nelayan. Namun hingga kini semuanya kandas di ranah kebijakan. Banyak omon-omonnya katimbang implementasi di lapangan.

“Jangan sampai nelayan yang lelah melaut siang-malam juga harus memikul beban karena negara tak mampu menertibkan tata niaga dan pungutan liar di pelabuhan. Sudah saatnya pemerintah instropeksi. Jika kinerja KKP yang tidak optimal, jangan salahkan nelayan” tandasnya.

Negara harus Hadir
Kritik serupa juga dilontarkan oleh Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional (ABPEDNAS). Melalui ketua umumnya, Ir. H. Indra Utama, M.PWK., IPU, menilai bahwa pendekatan fiskal yang terlalu keras dan tidak berpihak pada realita nelayan kecil berpotensi menambah luka struktural dalam sistem tata kelola perikanan nasional.

Menurut Indra, pemerintah harus hadir bukan hanya dalam bentuk regulasi, tetapi dalam bentuk empati, perlindungan, dan pemberdayaan. Jangan sampai nelayan yang menjadi ujung tombak ketahanan pangan laut justru diposisikan sebagai beban negara. Sebagai negara maritim dengan lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia seharusnya mampu menempatkan nelayan sebagai mitra strategis dalam pembangunan desa pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun, kata Indra, kenyataannya masih jauh panggang dari api.

“Bagaimana mungkin nelayan kecil yang hidup dalam ketidakpastian distribusi BBM, akses pembiayaan, dan regulasi yang tumpang tindih, kini dibebani urusan audit dan target pendapatan negara? Ini bentuk cermin retak dari manajemen sektor kelautan kita,” tambahnya.

ABPEDNAS, yang menaungi ribuan Anggota BPD dari desa-desa pesisir hingga perbatasan laut, menyatakan bahwa banyak anggota BPD telah menerima keluhan dari masyarakat nelayan atas ketidaksesuaian kebijakan KKP di lapangan, mulai dari zona tangkap yang menyulitkan hingga dugaan praktik pungli di pelabuhan.

“Jika memang PNBP tidak maksimal, mari kita jujur melihat akarnya. Apakah pengawasan internal lemah? Apakah mafia distribusi BBM masih bermain? Jangan jadikan nelayan kecil sebagai kambing hitam dari kegagalan sistemik,” tegasnya.***(Sas)