Perkedelnya Kok Gak Dimasukkan ke Nota?
Saya dan Abah Mushadi mejeng di Spesial Soto Boyolali, Jl. Slamet, Surabaya.

SURABAYA, arekMEMO.Com – Tadinya rencana yang ada di benak adalah mendatangi “base camp” Abah Mushadi (Bahmus) di Jl. Pacarkeling 11, Surabaya, untuk kemudian minta diantar ke fotokopi Super Star di Jl. Ondomohen 25-27. Keperluannya, guna melaminasi press card kempalan.com. saya — mengingat di dekat sekitar rumah di kawasan Rungkut, tak ada alat laminasi seperti yang di Jl. Walikota Moestadjab itu, yang dulu disebut Jl. Ondomohen.

Setiba di “base camp” Bahmus yang dikenal sebagai ‘Depot Prasmanan Bu Mus’ pukul 09.00 dengan go car, saya ditawari untuk sarapan. Karena masih kenyang, saya menolak.

Lantas, “Minum jus, teh, atau kopi, Pakde?” Saya jawab, “Air putih saja.”

Semenit kemudian salah satu pramusaji di situ mengantar air mineral botolan ukuran 600 ml.

Selepas itu sedan mini Suzuki Ignis dilajukan Bahmus ke arah barat di Jl. Ambengan. Tapi saya agak kaget, kok mobil kecil ini tidak terus ke barat melewati lampu stopan Jl. Kusuma Bangsa – Jl. Ambengan, tapi belok kiri ke Jl. Kusuma Bangsa?

“Lho, kok belok kesini. Arah fotokopi Super Star mestinya terus ke barat, nanti belok kiri ke Jl. Ngemplak …”

Bahmus menjawab kalem: “Kita ke Bank Jatim dulu, ada yang perlu kita tanyakan…”

Selepas dari bank milik Pemprov Jatim itu, baru kami ke Ondomohen.

Setelah selesai urusan di fotokopi yang pemiliknya meninggal dunia 4 tahun lalu karena Covid setiba dari Semarang untuk urusan famili punya hajat, saya pun beranjak ke parkiran yang ditunggu Bahmus di mobil.

Tiba-tiba perut saya terasa lapar. Belakangan perut saya sering dihinggapi keroncongan, saya curiga jangan-jangan gejala diabetes.

Cekak aos, biasanya kalau dari Bank Jatim, saya sering diajak Bahmus kulineran. Entah di sate klopo, pecel madiun, nasi kebuli lauk kambing open atau di lokasi lain yang dianggap paling unggul se-Surabaya “species” masakannya.

Kali ini saya yang mau nraktir. Dan boleh jadi, ini pertama kali saya yang nawari nraktir. Kalau Bahmus berkali-kali nraktir saya.

Dulu saya pernah ditawari Soto Cak To di Jl. Undaan Wetan. Ini salah satu soto ayam yang katanya maknyus tenan. Tapi dua kali saya tolak, karena saat Bahmus menjapri saya, posisi saya sedang di rumah. Bukan di tengah kota seperti pagi itu. Sedangkan rumah saya dengan “base camp” Bahmus berjarak 14 kilometer.

“Ayo dik, kita ke Soto Cak To. Pingin nyoba, nih. Saya yang nraktir?”

Bahmus tak menjawab, masih konsentrasi nyetir menuju “base camp”.

Tak lama kemudian, pertanyaan di atas saya ulangi lagi. Lantas Bahmus noleh ke kiri ke arah saya dibarengi tersenyum kecil.

Kemudian menjawab kalem, “Ke sini aja, Pakdhe. Lebih dekat.”

Ternyata Ignis yang sudah mengarah ke timur ke arah “base camp”, saat jelang Grand City Mall, dibelokkan ke kiri ke Jl. Slamet.

Sekira 150 meter dari ujung selatan Jl. Slamet, Suzuki mungil itu dipelankan, kemudian masuk ke lahan parkir, dipandu petugas parkir di situ. Banyak motor diparkir. Juga mobil-mobil yang diparkir di pinggir Jl. Slamet.

Depan kabin Ignis tersebut, terpampang tulisan besar memanjang pada plank: Spesial Soto Boyolali. Dominasi tulisan di plank ini merah magenta dan kuning. Di sini, selain menyediakan soto daging dan soto ayam, juga tengkleng.

‘Oh, ini to restoran soto yang sering masuk medsos itu,’ saya membatin. Saya singgung kata ‘restoran’ karena terletak di bangunan besar bekas kawasan elite zaman Hindia Belanda. Dulu, bangunan-bangunan macam begini disebut ‘omah loji’ (lodge).

Rupanya Bahmus sudah hafal dengan restoran ini. Terbukti njujug meja panjang tempat kondimen (lauk pauk dan jajanan pelengkap) yang ditutupi oleh perangkat buka-tutup terbuat dari mika.

Bahmus mengambil sate cingur, sate paru, tahu bakso — dalam wadah “anyaman plastik” duplikasi piring anyaman lidi.

Lantas di piring itu saya menambahkan pekedel dan tahu isi.

Kata Bahmus, sisa kondimen tak bisa dikembalikan. Oleh sebab itu kami ngambil secukupnya.

Di depan desk front restaurant, saya disodori leaflet menu. Saya pilih : soto ayam.
Bahmus : soto daging.
Minumnya: saya, air putih; Bahmus, teh hangat.

Saya mencoba mengira-ira, soto boyolali ini apa seperti soto bangkong di Semarang.

Ketika pesanan disajikan dalam mangkuk kecil ditataki lepek, saya amati isinya. Kemudian saya aduk-aduk dengan sendok. Isinya selain potongan-potongan kecil daging ayam, ada taoge, (mungkin) irisan-irisan singkong goreng, dan ini dia: kuahnya bening. Tak ada warna kuning kunyit sebagaimana kuah soto madura atau soto lamongan. Dan, jangan harap nyari poya. Gak ada!

Di lepek lain, disajikan potongan-potongan jeruk nipis.

Setelah saya aduk-aduk, lantas saya nikmati sruput demi sruput. Ya, karena masih panas. Tak lupa saya cemplungkan sepotong perkedel. Baru kemudian saya memakannya. Ludes. Licin tandas bagai dijilat anjing kering he-he-he. Rasanya? Seger, sedaapp.

Akan tetapi …
yah ada pengecualian.Saat tadi saya ambil sate paru, dan mulai menggigitnya, ternyata tak mempan. Alot. Atau kata yang tepat : lentur seperti karet. Jelasnya empuknya empuk membal.

Akhirnya dua potong bekas gigitan, saya letakkan di lepek dasaran mangkuk itu.

Seorang mbak pramusaji yang kebetulan ngringkesi sisa-sisa di meja sebelah, saya panggil. Mbaknya yang mirip Jihan Fahira ini menoleh, lantas mendekat.

“Maaf, mbak. Sate paru ini titipan dari orang lain atau hasil masak sendiri?”

“Masak sendiri, Pak… “

“Tolong bilangin yang masak ya, nggodoknya atau manggangnya kurang lama. Alot, Mbak. Kayak karet. Maaf ya…” kata saya.

Dan, tahu isinya dalemannya enak. Luarannya saya yang kurang sreg. Lapisan tepungnya keras sekali. Tak mempan saya gigit. ‘Mungkin supaya tidak keras, tepungnya diberi campuran kocokan telur’, saya membatin begitu.

Alhasil berapa yang harus saya bayar dari kami andok di situ : soto ayam besar Rp 13.000; soto sapi besar 13.000; teh manis 4.000; air mineral 5.000; 3 tahu isi 7.500; 1 tahu bakso 5.000; 1 sate cingur 8.000; 1 sate paru 8.000; kerupuk kaleng (dalam kemasan plastik isi 2) 2.000.

Total Rp 65.500, ditambah pajak mamin 10%. Jadi Rp 72.000. Jangan lupa, parkirnya Rp. 5.000.

Eits, tapi nanti dulu. Kok sepotong perkedel tidak dimasukkan print out nota hitung-hitungan. Waduh, yaopo iki. Padahal notanya saya baca saat sudah tiba di rumah. ‘Ya, sudah. Nanti kalau andok lagi disitu, akan saya bayar,’ pikir saya. (Amang Mawardi).