Hidup di jalanan, yang ditemui ya macem-macem orang. Ada yang baik, ada yang setengah baik, ada yang remek sekalé. Dari sekian teman, awak berteman dengan Emha menjelang akhir tahun 70an karena sering tandang ke sanggar. Dari dialah saya tertarik untuk belajar tasawuf. 

“Aku ngaji nok awakmu ya Nun.” Koen iki mendem ta Kim. 

Waras cuk. 

Nek waras gak kiro ngomong ngono. Hahahahaha…

Dari Ainun pula awak direkom belajar kebathinan Islam pada Prof.Dr. Damardjati Supadjar, Guru Besar Filsafat UGM yang juga konsultan spiritual Hamengku Buwono IX.  Di rumah kontrakannya Ainun, kampung Patangpuluhan, Jogja awak bersiap-siap menemui Pak Damar yang oleh Emha disebut Sufi Jawa. 

Sementara awak mencari kaset C.90, Emha mencarikan tape recorder. Sebelum berangkat semua peralatan sudah dites…halo halo… Oke sip. Lebih empat jam awak dialog tentang sufistik dengan idiometik pewayangan maupun fenomena kontemporer. Setelah selesai, sampai di tempat asal langsung ditanya si empunya rumah. 

Yik apa Kim? Beres Nun. Ngomong apa aé. Sik, tak rokokan, endhasku rasané abot. Iki rekamané. Setelah disetel, nggak ada suaranya? Nang endi suarané Kim. Mosok andok kopi Nun? Gak ono ngéné lho. Wadduuhh… Ternyata bener. Dua kaset C-90 yang awak gunakan, nggak ada suaranya blas. Nggaplèki.

Iku tandaé dikongkon mbalik Kim. Wado. Gakpapa méné mbaliko. Yach… terpaksa mengingat serpihan dialog lalu saya catat di notes. Keesokan harinya awak  kembali ke rumahnya Pak Damar, jauh juga sih. Setelah uluk salam, awak bilang, maaf Pak dialog kita kemarin nggak terekam Pak. Ya memang harus kembali, nggak bisa ngomong kebathinan cuma sekali. Awak ngakak dalam hati… bener juga sih.

Atas anjuran Ainun juga awak disuruh belajar tasawuf ke  Kyai Muhammad Zuhri yang akrab disapa Pak Mo di Desa Bulumanis, Margoyoso, Kajen, Pati, Jawa Tengah. Di Desa Kajen itu terdapat sekitar 17 pondok pesantren, dan hanya Pak Mo sendiri yang  mengelola “pesantren tanpa dinding”, mengajarkan “tarekat tanpa tarekat”. Mahasiswa dari Bandung, Jogja, Surabaya, Jakarta dan kota-kota lain silih bertandang ke rumahnya. Pertanyaan mereka abot2, sedangkan awak remeh temeh, sing penting asik dan bisa dilakoni.

Di sela-sela ngais rezeki di Surabaya Post awak saya kesengsem dengan pemikiran Pak Mo. Tidak terasa wira-wiri ke Pati berlangsung selama tujuh tahun. Ini adalah guru ke 46 dari yang awak timba ditempat-tempat tersembunyi, yang jauh dari popularitas. Umumnya kiyai ndeso. Ada Mbah Wahab, gurunya Gus Mik. Ada Gus Tik, Gus Di, Yai Sahal, macem-macem wong…

Ada yang unik antar-kedua guruku itu, Pak Mo dan Pak Damar, meski baru ketemu sekali namun Pak Damar mengakui Pak Mo sebagai saudara kandung spiritual. Perenungan Pak Mo mengejutkan Pak Damar, dan ada kelucuan lain, pada corak tulisan keduanya sama. Persis plek!! Kalo mengingat itu Pak Mo terkekeh-kekeh. Ada-ada aja hidup ini.

Balik ke soal koncoan sama Emha. Ya kadang seneng kadang mangkel. Mangkelnya kalo sedang bersebrangan pemikiran seperti saat pemilihan umum 2019 maupun sekarang. Awak ngomong blak kotang, awakmu mbingungno Nun. Tenang aé Kim. Jangkrik, aku sing gak tenang pèk. Wistalah, padhané koen kenal aku wingènané aé. Sing ati2 Nun, sing dadi pager pegel pèk. Wis talah,  engkuk wong2 lhak kecelik.

Hmmmmmm….

Setelah Pak Mo meninggal dunia serasa peteng dhedhet. Siapa lagi yang bisa menggantikan Pak Mo yang pemikiran begitu progresif. Oleh teman-teman Mizan, Pak Mo disebut sufi revolusioner karena begitu beraninya dia membedah kebekuan teks ajaran dengan perenungan dan tafsir yang nzamani, kontekstual. 

Dari satu orang ke orang yang lain, saya mencari pengganti Pak Mo tapi yang saya dapatkan aneh-aneh. Karena menimba harus mengosongkan ember, maka pada sumur manapun yang awak timba, awak ngelos saja, ngegas pol. Nggak bakal matek walaupun harus menjelajahi makam2 singit, angker, ketemu macem2, ekting orang juga aneh, tapi nggak ngaruh babar blas, awak santuy aja. 

Guru demi guru silih berganti, hingga hari ini dalam catatan kecil, Kyai Muhammad Salim yang mengajari ilmu hakikat adalah guru ke enampuluh satu. Awak terus berenang-renang di alur sungai.  Tibaknya, asik juga dadi wong embong. (rokimdakas)