JAKARTA, arekMEMO.Com – Di tengah daya tarik industri kreatif dan dinamika isunya dalam derasnya arus informasi digital, ada sisi lain yang jarang mendapatkan sorotan, yaitu kerja senyap para praktisi Public Relations (PR) dalam menjaga reputasi, menata persepsi, dan mengelola krisis yang bisa datang kapan saja.
Nugroho Agung Prasetyo, praktisi dan akademisi komunikasi mengungkapkannya secara menarik dalam karya bukunya “Untold Story – Strategi Public Relations di Industri Kreatif”. Dengan pengalaman lebih dari 15 tahun di dunia media, ia mengangkat beberapa kisah kerja PR di balik layar ke permukaan secara jujur, reflektif, dan sarat pembelajaran strategis dari pengalaman nyata di industri kreatif. Buku setebal 367 halaman ini diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama -M&C. Bisa disebut, buku ini menjadi jembatan antara teori dan realitas lapangan. Sangat cocok dibaca para mahasiswa dan praktisi PR, content creator, maupun jurnalis.
“Buku ini bukan sekadar panduan teknis, melainkan catatan dari dapur kerja Public Relations dalam industri, yang mungkin juga dialami praktisi industri lainnya. Dalam buku ini saya menghadirkan perasaan dilema, keputusan penting, dan strategi komunikasi yang tak pernah muncul ke permukaan. Dalam krisis, PR tidak hanya bicara. Ia mendengar, merasakan, dan bertindak,” ujar sang penulis.
Salah satu kisah di awal buku mengangkat peristiwa demonstrasi anti-pornoaksi terhadap dua stasiun televisi nasional pada awal 2000-an. Bagi tim PR yang terlibat, momen itu bukan sekadar krisis, melainkan ujian empati dan strategi komunikasi. Alih-alih bersikap defensif, tim PR memilih pendekatan humanis dengan menemui para pengunjuk rasa dengan membawa tenaga medis untuk membantu para demonstran yang kelelahan di tengah panas siang. Tindakan sederhana itu menjadi langkah komunikasi yang bermakna dalam menunjukkan bahwa empati bisa menjadi alat reputasi yang lebih kuat dari sekadar pernyataan pers.
Kisah lain yang tak kalah menarik datang dari sebuah panggilan telepon seorang anggota militer yang meminta Salinan konten salahsatu telenovela. Sang PR muda kala itu menjelaskan batasan hukum hak cipta bukan dengan gaya birokratis, tapi dengan bahasa empatik yang justru memperkuat kepercayaan public sehingga menciptakan pemahaman penelponnya.
Belum lagi ungkapan dalam cerita lainnya, ketika produk kreatif mendapatkan resistensi dari sejumlah tokoh dan kelompok masyarakat berpengaruh. Tekanan bukan hadir melalui platform digital saja, tapi juga surat resmi dan kehadirannya yang tentu berpotensi menekan citra dan reputasi.
“Saat itu kami merasa bahwa kami tidak sedang membuka konfrontasi untuk menambah lawan. Tapi saya dan perusahaan justru merasa pada fase tersebut harus mendekat, mendengar, dan belajar bersama, menciptakan saling pengertian. Bukan berbicara untuk merasa paling benar, tapi mendengarkan keluhannya, sambil mencari solusi bersama agar kami tetap tumbuh tanpa mencederai kepercayaan kelompok manapun”, jelas Nugroho Agung Prasetyo.
Setiap bab dalam Untold Story dibangun dengan dua lapis kekuatan: pengalaman nyata dan landasan teori yang kuat. Teori-teori klasik seperti Two-Way Symmetrical Model (Grunig & Hunt), Agenda Setting Theory, hingga Narrative Paradigm (Walter Fisher) dihidupkan lewat studi kasus yang terjadi di ruang produksi, ruang PR, hingga meja rapat krisis.
Bagi praktisi industri, buku ini tentu dapat menjadi refleksi penting tentang bagaimana menghadapi tekanan publik dan isu sosial terkait produk dan perusahaan, dengan pendekatan strategis. Bagi akademisi dan mahasiswa komunikasi, buku ini menjadi sumber belajar aplikatif yang menjelaskan bagaimana teori komunikasi benar-benar bekerja di lapangan. Lebih dari sekadar profesi komunikasi, “Untold Story – Strategi Public Relations di Industri Kreatif” memandang PR sebagai profesi yang manusiawi. Profesi yang menuntut empati, sensitivitas sosial, dan kemampuan membaca situasi di antara fakta dan persepsi.
“Setiap krisis menyimpan pelajaran. Setiap cerita adalah strategi. PR bukan tentang menyelamatkan citra saja, tapi tentang membangun kepercayaan. Public Relations adalah tentang menjaga keseimbangan antara apa yang benar, apa yang dipercaya publik, dan bagaimana kita menyampaikannya dengan hormat,” ujar penulis.
Nugroho Agung Prasetyo adalah seorang praktisi Public Relations dan komunikasi korporat dengan pengalaman panjang di industri kreatif, khususnya penyiaran. Selain menjadi Associates Director di salah satu Perusahaan konsultan PR, ia juga aktif sebagai dosen dan pembicara di berbagai forum PR professional. Ia terbilang cukup dekat dengan aktivitas beberapa organisasi PR, seperti Perhumas, APPRI, beberapa komunitas Humas Muda, hingga menjadi pengurus di Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Pusat. Melalui buku ini , ia mengajak pembaca memahami realitas dunia PR, bukan dari sisi glamor, tetapi dari ruang senyap di mana strategi, etika, dan empati diuji setiap hari.
Beberapa pakar llmu Komunikasi memberikan sambutan positif atas terbitnya buku tersebut.
Boy Kelana Soebroto, Ketua Umum Perhumas, menyatakan buku ini menghadirkan perspektif yang kaya dengan studi kasus dan solusi praktis.
Sedangkan Prof Dr. Dadang Rahmat Hidayat, S.Sos., S.H., M.Si., Ketua Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia dan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran (UNPAD) mengatakan, buku ini sangat penting bagi para praktisi dan akademisi yang terkait dengan komunikasi, karena merupakan karya yang digali dari hasil pengalaman mendalam, terutama dunia penyiaran yang penuh dengan dinamika.***






