arekMEMO.Com – “Indonesia tidak sedang baik-baik saja.” Kalimat itu tidak lahir dari ruang seminar berpendingin udara atau laporan statistik di meja kekuasaan. Ia muncul dari debu jalanan, dari hutan yang digunduli, dari laut yang dipagari tambang, dari desa-desa yang kekayaannya diangkut pergi sementara warganya tetap miskin.
Buku Reset Indonesia: Gagasan Tentang Indonesia Baru hadir sebagai semacam mata semesta – membuka tabir tentang kerusakan ekologis dan ketimpangan sosial yang selama ini ditutup rapat oleh narasi pembangunan semu.
Buku ini tidak ditulis dengan jarak aman. Ia lahir dari ratusan hari perjalanan empat jurnalis lintas generasi – Farid Gaban (Baby Boomer), Dandhy Laksono (Generasi X), Yusuf Priambodo (Milenial), dan Benaya Harobu (Generasi Z) – yang memilih berjalan, mendengar, dan menyaksikan langsung denyut luka Indonesia.
Dari Sumatra hingga Papua, dari pesisir hingga pedalaman, mereka melihat satu pola yang berulang: negara hadir untuk modal, absen bagi warga bangsa.
Tumbuhnya Kesadaran
Benaya Harobu, jurnalis muda asal Sumba, menuturkan bagaimana perjalanan itu mengubah cara pandangnya tentang Indonesia. “Kami menghabiskan ratusan hari di jalan, bukan hanya untuk melihat alam, tapi untuk menyaksikan kekerasan struktural yang dirasakan jutaan orang,” ujarnya.
Yang mereka temukan bukan sekadar bencana ekologis tetapi bencana kebijakan.
Hutan Sumatra yang habis, laut yang tercemar, tanah adat yang dirampas, semuanya berakar pada satu hal: pemerintahan yang terlalu mesra dengan oligarki, namun dingin terhadap rakyatnya sendiri.
Dari sanalah kesimpulan keras itu lahir. Indonesia tidak membutuhkan tambalan kebijakan, melainkan pengaturan ulang sistem secara total.
Federalisme dan Janji Kemerdekaan yang Tertunda
Salah satu gagasan paling tajam dalam buku ini adalah tawaran untuk mengkaji ulang bentuk negara melalui federalisme. Bukan sebagai proyek separatisme, melainkan sebagai jalan keadilan struktural.
“Sebagai anak muda dari Timur Indonesia, saya merasa sangat jauh dari ibu kota,” kata Benaya. “Kekayaan alam kami dieksploitasi, tapi keputusan politik dan hasil pembangunan berakhir di Jawa.”
Desentralisasi yang selama ini digembar-gemborkan, menurut Benaya, sering kali hanya hidup di atas kertas. Keputusan tetap turun dari pusat, tanpa akar pada kebutuhan lokal.
Federalisme, dalam gagasan mereka, dimaksudkan untuk mengakhiri kolonialisme internal agar kekayaan Sumba, Papua, Maluku, dan wilayah lain benar-benar kembali pada rakyat setempat.
Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Dr. Herlambang Wiratraman, menilai gagasan ini bukan hal utopis. Secara historis dan konstitusional, federalisme memiliki pijakan kuat dalam perjalanan Indonesia. Bahkan praktiknya sudah hidup dalam sistem adat seperti Baduy, Ciptagelar, hingga daerah istimewa seperti Aceh dan Papua.
“Ini bukan menolak Indonesia sebagai satu bangsa,” ujarnya, “tetapi cara agar negara lebih menghargai warganya.”
Namun, di sinilah ironi demokrasi kita terkuak. Gagasan semacam ini kerap disambut dengan represi. Dianggap ancaman keamanan, bahkan dicurigai makar. Padahal, seperti ditegaskan Herlambang, itu adalah ekspresi politik kewarganegaraan yang sah dalam negara demokratis.
Demokrasi Terpenjara Partai dan Modal
Kritik buku Reset Indonesia tidak berhenti pada bentuk negara. Sistem kepartaian juga disorot tajam. Parlemen dinilai lebih setia pada kepentingan partai dan penyokong modal ketimbang suara konstituen.
Benaya mengusulkan keberanian untuk membayangkan parlemen yang lebih inklusif. Yakni perwakilan petani, buruh, perempuan, dan komunitas adat yang tidak terikat partai politik.
“Suara yang selama ini hanya jadi statistik harus punya kursi,” katanya. Tanpa itu, demokrasi hanya menjadi prosedur elektoral yang dikuasai oligarki.
Di sektor pendidikan, kritik yang muncul tak kalah pedih. Sistem yang seragam, berbasis hafalan, dan sentralistik dinilai gagal menyiapkan generasi muda menghadapi masa depan, termasuk ancaman otomatisasi dan kecerdasan buatan.
Benaya berkisah tentang kunjungannya ke Lombok, bertemu warga yang tak lulus SD namun membangun ruang belajar berbasis alam dan kebutuhan hidup. Anak-anak belajar tanpa seragam, tanpa sekat kelas, namun dengan rasa ingin tahu yang hidup.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, mengamini kritik ini. Ia menyebut kebijakan pendidikan nasional sering lahir dari imajinasi elit Jakarta yang tak terhubung dengan realitas desa.
Chromebook dan Smart TV dibagi, sementara lebih dari separuh sekolah rusak dan mayoritas wilayah tak punya internet layak. “Pendidikan kita bias elit,” tegasnya, “dan abai pada kondisi nyata rakyat.”
Ketika Buku Dibubarkan, Demokrasi Diuji
Ironi mencapai puncaknya ketika diskusi bedah buku Reset Indonesia justru dibubarkan aparat di Madiun. Peristiwa ini menjadi simbol betapa ruang literasi masih dianggap ancaman.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, menyayangkan tindakan tersebut dan menegaskan bahwa buku ini justru penting untuk membangkitkan kesadaran publik.
“Petugas yang melarang diskusi harus diberi sanksi,” ujarnya, “demi pelajaran bagi demokrasi kita.”
Reset Indonesia bukan buku yang menawarkan kenyamanan. Ia mengganggu, menantang, bahkan menampar kesadaran kita sebagai bangsa. Ia mengingatkan bahwa setelah 80 tahun merdeka, Indonesia tak bisa terus hidup dengan rumah bocor yang hanya ditambal seadanya.
Buku ini adalah panggilan kemanusiaan agar negara kembali berpihak pada manusia, bukan modal; pada alam, bukan eksploitasi; pada masa depan, bukan kepentingan sesaat.
Sebuah ajakan untuk berani menekan tombol reset, demi Indonesia yang lebih adil, setara, dan bermartabat. (kim)

