arekMEMO.Com – Saat baru saja terbangun di bus dalam perjalanan dari Pujon ke Pandaan, Minggu 14 September lalu, segera saya ambil HP di saku jaket.
Di kolom WA terbaca beberapa pesan, di antaranya dari M. Anis sahabat saya peraih 3 kali Anugerah Prapanca simbol supremasi jurnalistik Jawa Timur.
Mantan anggota Lembaga Sensor Film ini pun, antara lain menulis begini : mohon alamat, akan saya kirimkan buku Erros Djarot APA KATA SAHABAT berisi tulisan 72 sahabat Erros, tebal 645 halaman.
Sesaat setelah membaca pesan tersebut, saya agak kaget pada bagian kalimat : 645 halaman. Wow tebal sekali !
Tentang pesan tersebut, sebagian sudah saya ikuti pratinjaunya berupa video promosi yang gencar dipublikasikan oleh Mas Anto mantan jurnalis Surabaya Post dan Republika yang belakangan saya kenal sebagai videografer andal.
Rabu malam 17 September 2025, baru saja nglilir, di nakas saya dapati paket seukuran buku dalam kemasan karton yang ternyata diletakkan istri saya. Segera saya duga, ini pasti buku tentang Erros Djarot.
Sebelum unboxing, ingatan saya melayang kepada 3 hal di masa lalu.
Di kisaran tahun 1993, jurnalis Yamin Akhmad dan saya, menemui Dahlan Iskan di markas Jawa Pos Group, Karah Agung, Surabaya, untuk satu keperluan.
Sesudah itu kami ngobrol ngalor ngidul, di antaranya seputar dunia jurnalistik.
Lantas Dahlan mengambil surat kabar Detik dari meja yang ada di depan kami. Sambil memegang Detik, Dahlan mengatakan : “Koran ini akan jadi besar.”
Dahlan ternyata benar, pada saat Detik dibredel pada 21 Juni 1994 (bersama Tempo dan Editor), tirasnya mencapai 450.000 ekslempar. Padahal saat terbit pada 3 Maret 1993 : 10.000 ekslempar.
Jadi, selama 15 bulan tiras koran yang SIUPP-nya men- “take over” Mingguan Simponi ini mengalami kenaikan –tahap demi tahap– sehingga terjadi penambahan 440.000 eksemplar.
Hal yang kedua, tentang ucapan Matori Abdul Djalil (11 Juli 1942 – 12 Mei 2007) Menteri Pertahanan pada Kabinet Gotong Royong Presiden Gus Dur.
Matori bilang begini, “Erros Djarot itu brilian. Talentanya luar biasa. Apa yang disentuh selalu jadi : musik, film, koran.”
Maaf, mungkin Pak Matori lupa mengatakan bahwa pada awal-awal PDI Perjuangan dibentuk, kemonceran sosok Megawati Sukarnoputri besar pengaruhnya atas peran Erros Djarot sebagai penasihat politik Megawati.
Sedangkan hal ketiga yang saya ingat adalah tentang film Tjoet Nja’ Dhien yang disutradarai Erros Djarot.
Film ini berkisar tentang perjuangan rakyat Aceh dalam menentang kolonialis Belanda.
Pada akhirnya bukan saja pada Tjoet Nja’ Dhien, Teuku Umar, atau tokoh yang lain, perhatian saya pun tersita oleh Pang Laot yang dibawakan dengan cemerlang oleh Pietradjaja Burnama, dimana dalam setiap idealisme perjuangan selalu ada pengkhianat.
Diilustrasikan, pada situasi terdesak oleh kepungan pasukan Belanda, akhirnya Pang Laot menyerahkan diri, menyeberang.
Erros dalam film epos yang dibuat pada tahun 1988 ini, menyajikannya secara dimensional dengan apik : kepahlawanan dan pengkhianatan.
Tentang 72 kesaksian yang ditulis antara lain oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Guntur Sukarnoputra, Christine Hakim, Butet Kertarajasa, Jaya Suprana, Dita Indah Sari, Arif Afandi, Amien Rais, Sutiyoso, Nursyahbani Katjasungkana, Gilang Ramadhan, Laksamana Sukardi, Siti Zuhro, Pramono Anung, Zulfan Lindan, Komarudin Hidayat.
Lantas : Frans Magnis-Suseno, Djoko Suyanto, Ferry Joko Juliantono, A. Muhaimin Iskandar, Farid Gaban, Bambang Soesatyo, A.S. Laksana, Ngatawi Al-Zastrouw, Irma Suryani Chaniago, Kristiya Kartika, dan sekian nama lagi — saya coba resapi, betapa lintas sektoral dan lintas profesi para sahabat Erros ini.
Dalam konteks di atas, Erros Djarot tampaknya bijak merawat dan menjaga persahabatan.
Saya memang baru “baca-baca”, selintas membolak-balik beberapa halaman, mengamati sekilas secara random buku ini.
Yang baru saya baca penuh adalah kover belakang, memuat (potongan) pendapat M. Mahfud MD., M. Hatta Rajasa, Anies Baswedan, Jeffrey A. Winters, dan Ganjar Pranowo.
Sedangkan isi buku yang telah saya baca penuh baru tulisan Yuyun Wardhana salah satu anak buah Erros Djarot saat Yuyun bekerja sebagai fotografer di Tabloid Detik. Juga tulisan Slamet Rahardjo Djarot kakak sulung Erros Djarot.
Deskriptif, detil, runtut, enak dibaca, begitulah gambaran tulisan Yuyun sepanjang 16 halaman ini. Boleh jadi peran Pak Anis sebagai editor ikut menjadikan tulisan panjang ini enak dibaca.
Dari tulisan Yuyun tersebut, saya coba simpulkan bagaimana Erros Djarot melahirkan gagasan-gagasannya yang lantas mengeksekusinya.
Erros adalah kreator yang motivator, senantiasa menempa dirinya dengan sangat keras, namun melakoninya dalam psikologi yang stabil. Tidak mudah tersulut, tapi responsif terhadap hal-hal yang menyangkut ketidak-adilan.
Ada satu kalimat Erros Djarot yang lantas dikutip Yuyun Wardhana yang alumnus jurusan Ilmu Komunikasi UGM ini : “Kita jangan berhenti di satu titik. Kita harus bergerak dari satu titik ke titik yang lain. Kita harus terus bergerak dan terus berkarya”.
Dari ungkapan di atas, saya mencoba menghubungkan dengan pernyataan Matori Abdul Djalil. Bahwa yang “disentuh” oleh Erros Djarot selalu jadi adalah dimana Erros Djarot dalam menjalani hidup bergerak mengikuti naluri dan melakoninya dalam balutan suara hati berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Selanjutnya mengerjakannya dengan sungguh-sungguh.
Berbeda dengan gaya tulisan Yuyun Wardhana yang reportatif. Tulisan kesaksian Slamet Rahardjo, banyak menampilkan kalimat-kalimat langsung.
Boleh jadi sebagai aktor dan sutradara teater andal serta empu perfilman, pengaruh hal di atas terhadap implementasi tulisan dedengkot Teater Populer ini, begitu kuat dan hidup — ibarat mengikuti dialog-dialog dalam pementasan drama atau film. Tentu saja, saya rasa bukan faktor itu semata. Bahwasanya elemen kedekatan sebagai saudara kandung, itulah yang lantas memperkuat dugaan saya : inilah testimoni paling menarik dari buku Erros Djarot APA KATA SAHABAT.
Pada tulisan Slamet Rahardjo tersebut, kesan saya betapa begitu bangga dan sayang sosok kharismatik ini pada adiknya: Erros Djarot.
Ada hal menarik yang saya terkesan oleh tulisan Slamet Rahardjo ini, di antaranya Slamet dan Erros belajar “filsafat” kehidupan dari Mbah Kakung yang kyai. Sementara untuk kedisiplinan mereka terinspirasi ayahnya yang tentara.
Diilustrasikan –saat mereka ikut Mbah-nya di Jogja– Slamet bertugas menimba air, sedangkan Erros menyirami tanaman, termasuk pohon mangga.
Secara eksplisit perkara nimba dan nyiram ini terelaborasi menjadi sanepan (semacam filosofi Jawa) bahwa jika ingin panen, menanamlah. Jika ingin menikmati hasil, bekerjalah dengan sungguh-sungguh dan jujur.
“Oleh karena itu dari sanepan tersebut, saya dan Erros senantisa menjauhi korupsi,” ujar Slamet Rahardjo.
Sebagai 7 bersaudara, Slamet yang sulung ini usianya terpaut setahun dengan Erros Djarot.
Boleh jadi, oleh karena itulah Slamet Rahardjo antara lain menulis begini : Kami ibarat saudara kembar yang tak pernah bertengkar.
Kalimat ini terinspirasi puisi Sapardi Djoko Damono berjudul ‘Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari’.
Slamet lantas menuliskannya secara lengkap.
Waktu berjalan ke barat pagi hari, matahari mengikutiku di belakang
Saya berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
Saya dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
Saya dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan
Di bawah puisi di atas, Slamet Rahardjo lantas menulis begini :
Coba simak bait : matahari di belakangku dan kami tidak pernah bertengkar tentang siapa yang menciptakan bayangan.
Itu sama seperti saya dan Erros. Bagus saya adalah bagus dia, jelek dia berarti jelek saya. Jadi memang sepertinya sama dengan pertanyaan : ” Mr. Erros, where is Slamet? Mr. Slamet, where is Erros? ” Itulah jawabannya soal kami berdua.
Ada lagi yang menarik dari tulisan Slamet Rahardjo ini, dua kali nama ‘Sugeng’ disinggung sebagai “substitusi” nama Erros Djarot. Atau katakanlah itu (sebagian) dari nama terlahir Erros Djarot.
Lantas saya coba browsing Google, tersebutlah nama : Soegeng Rahardjo Djarot, lahir 22 Juli 1950.
Apa betul begitu? Saya tidak sepenuhnya percaya. Mungkin yang betul adalah ‘Sogeng’ dan ‘Djarot’. Tentang sisipan ‘Rahardjo’, entahlah.
Jadi, bagaimana sebaiknya saya menyimpulkan sebutan untuk Erros Djarot?
Mungkin saya sependapat dengan judul tulisan Jumhur Hidayat pada buku ini. Sosok Jumhur saat kuliah di ITB pernah dipenjara 3 tahun pada era Orde Baru. Lantas pada tahun 1992 meneruskan studi teknik fisika di Universitas Nasional. Dan pada 2013 menyelesaikan Magister Sosiologi di Universitas Indonesia.
Dia memberi judul testimoninya : ‘Erros Djarot Itu Negarawan yang Lahir Sebagai Budayawan’.
Alhasil, buku yang diterbitkan oleh Lingkar Budaya Cerdas ini, makin menarik mengingat setiap tulisan diberi ilustrasi karya Muid Mularnoidin yang mampu menangkap karakter penulisnya dalam posisi seperti berdialog dengan Erros Djarot, sebagai esensi tulisan.
Gambar yang disajikan Muid ini mengingatkan saya pada ilustrasi Majalah Anak-Anak Kuntjung saat SR/SD : teduh, menenteramkan.
By the Way, saya berharap nantinya buku yang terdiri dari 4 bab ini bisa menjadi salah satu buku terbaik tahun 2025.
Amang Mawardi, penulis sejumlah buku, tinggal di