TULUNGAGUNG, arekMEMO.Com – PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap), program sertifikat gratis pemerintah bak makan buah simalakama.
Di satu sisi menguntungkan pemilik tanah yang berhak mengalihkan surat tanah menjadi sertifikat. Di sisi lain, merugikan pihak yang terdampak dari kemudahan syarat yang ditentukan dalam PTSL.
Akibatnya, banyak kasus yang muncul setelah terbitnya sertifikat melalui program PTSL tersebut.
Mengapa?
Karena mudahnya persyaratan tersebut, banyak pihak yang memanfaatkan untuk menguasai tanah orang lain dengan berbagai cara.
Seperti yang dialami oleh ibunda mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika, Dino Patti Djalal, yang tiga asetnya berpindah kepemilikan kepada orang lain. Sementara pemiliknya tidak merasa melakukan jual beli (Viva.co.id, 10 Februari 2021).
Banyak celah yang bisa dimanfaatkan oleh siapa pun dalam program ini. Karena hanya dengan memenuhi lima syarat, maka sertifikat bisa diproses dan diterbitkan. Syaratnya antara lain :
1.Dokumen Kependudukan KTP dan KK;
2.Surat tanah yang bisa berupa letter C, Akte Jual Beli, Akte Hibah atau Berita Acara Kesaksian, dll.
3.Tanda batas tanah yang terpasang. Perlu diingat, tanda batas tanah ini harus sudah mendapat persetujuan pemiliki tanah yang berbatasan.
4. Bukti setor Bea Perolehan atau Surat Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh).
5. Surat Permohonan
atau Surat Pernyataan Peserta.
Hanya berdasar bukti tersebut, seseorang bisa
mendapat sertifikat atas namanya, dalam waktu yang cepat. Satu sampai dua
bulan, BPN sudah bisa menerbitkan sertifikat atas nama pemohon.
Begitu mudah dan cepat. Menyenangkan sekali bagi
pemilik tanah yang tidak bermasalah.
Bagaimana dengan tanah yang bermasalah? Seperti tanah
warisan yang diatasnamakan satu orang. Atau tanah gonogini yang belum dibagi? Seperti yang dialami seorang wanita,
warga Bogor, Jawa Barat ini.
Wanita berusia 64 tahun itu merasa menjadi korban
PTSL, ketika berusaha mencari harta gonogini
berupa dua bidang tanah yang salah satunya belum dibagikan oleh mantan
suaminya.
Tanah tersebut dibeli ketika keduanya masih
berstatus sebagai suami istri. Mereka bercerai tahun 1997 di Jakarta.
Tanah tersebut lokasinya berada di sebuah desa di
Kecamatan Pakel, Tulungagung, Jawa Timur. Di atas tanah tersebut kini sudah
berdiri sebuah mushala yang sudah pula diwakafkan.
Seingatnya tanah yang dibeli sekitar tahun 1991-
1992 dari seorang kerabat tersebut luasnya sekitar 192 Ru (1 Ru = 14m). Lantas,
wanita yang mantan wartawati Jawa Pos tersebut berusaha mencari tahu, kenapa
ada bangunan di atas tanah gonogini
miliknya.
Berbagai pendekatan dilakukan untuk mendapat kejelasan atas status tanah tersebut. Hingga akhirnya kepala desa menjelaskan bahwa tanah tersebut sudah sertifikat melalui program PTSL.
Ya sudah, itu lebih baik. Berarti tanah tersebut sudah memiliki kekuatan hukum yang jelas. Tinggal membagi dua dengan mantan suami.
Ternyata tidak semudah itu. Karena mantan suaminya, yang juga mantan Ketua PWI Pusat, sudah meninggal dunia.
Lantas, wanita dari Bogor tersebut berusaha mendapatkan bukti kepemilikan lain dari desa. Yaitu, letter C yang merupakan buku catatan desa atas kepemilikan tanah.
Penjual tanah dan para saksi semua masih hidup dan sudah memberikan kesaksian, bahwa tanah tersebut dibeli ketika masih berstatus istri almarhum.
Tapi kepala desa yang baru, tidak bersedia memberikan surat keterangan yang diharapkan wanita tersebut. Yakni, dua bidang tanah gonogini yang ada di desa itu. Dengan alasan tidak tahu sejarah tanah yang sudah sertifikat tersebut. Lagi-lagi korban PTSL dengan alasan sepele.(*)