Oleh: Yunanto
Berbunyi atau tidak, kentut nyaris pasti meninggalkan jejak. Tentu saja, jejak kentut adalah aroma (bau). Soal wujudnya seperti apa, itulah hebatnya kentut, tanpa rupa yang kasat mata.
Andai saya analogikan, politik uang serupa nian dengan kentut. Aromanya semerbak di seantero daerah pemilihan (dapil) pada pemilu 2019, pekan kemarin. Peliknya, siapa yang “kentut” (baca: melakukan politik uang), nyaris tak kasat mata.
Ya, begitulah modus operandi pelaku “kentut” dalam ranah kontestasi. Mereka, lazim disebut eksekutor. “Kentut” di sana-sini secara sembunyi-sembunyi. Gerakannya plintat-plintut, mengendap-endap serupa maling dini hari. Hal yang pasti, aromanya tetap saja menyebar.
Hai…!! Siapa yang “kentut” itu?! Mana ada maling dengan lapang dada mengaku. Menghilang sudah pasti, agar pelik ditelusuri. Hanya kecuali tertangkap tangan, seketika pas “kentut” tentu saja.
Pidana “Kentut”
Hingga pekan ini pergunjingan tentang orang-orang “kentut” masih hangat, kendati pemilu sudah sepekan berlalu.
Dalam terminologi bahasa Jawa, “kentut” macam itu kerap disebut “ono suoro tanpo rupo” (ada suara tanpa rupa). Ya, sekali lagi, itulah hebatnya “kentut”.
Di Turen, kawasan Malang Selatan arah Lumajang contohnya. Seorang ibu rumah tangga berinisial J, “kentut” dari pintu ke pintu, dari warung ke warung. Si penabur “kentut” ini sekadar eksekutor pelaksana dari Si Boss “kentut”. Siapa lagi kalau bukan caleg yang pasang target dapat kursi.
Dua saksi yang “dikentuti” Bu J, melapor ke personel panwas desa. Mereka malah sempat membuntuti aksi Bu J yang “kentut” dengan banyak amplop, berisi uang pastinya. Bawaslu Kabupaten Malang pun turun tangan. Menelisik kasus “kentut” di Turen itu.
Saya yakin, Si Boss “kentut” (baca: caleg yang melancarkan politik uang), pastilah sudah melek hukum. Pahamlah, “kentut” dalam ranah kontestasi pemilu merupakan perbuatan melawan hukum. Masuk koridor tindak pidana pemilu.
Sanksi pidananya juga jelas. Empat tahun penjara plus denda maksimal Rp 48 juta. Itulah ancaman pidana perihal “kentut” dalam kontestasi pileg, di Pasal 523, ayat (2), UU RI No. 7/ Tahun 2017 tentang Pemilu.
Namanya Si Boss “kentut”, ada saja akalnya menyelusup di sela-sela celah hukum. Boleh jadi memang telah dicermati, bahwa penerapan sanksi pidana pemilu tetap harus mengacu pada Hukum Acara Pidana (KUHAP). Celah yang dicermati lazimnya berwujud alat bukti. Galibnya, tanpa alat bukti yang cukup (minimal dua), sulit menyeret pelaku “kentut” ke ranah pidana.
Ada lima alat bukti yang dirincikan dalam Pasal 184, ayat (1), UU RI No. 8/ Tahun 1981 tentang KUHAP. Konkretnya, (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, (4) petunjuk, dan (5) keterangan terdakwa. Si Boss “kentut” dan jaringan eksekutor “kentut” pastilah mengantisipasi. Langkahnya, berupaya maksimal “menghilangkan” alat bukti ke-1, ke-3 dan ke-4 tersebut. “Kentut” pun dijamin hanya berjejak aroma, tanpa kasat mata. Preeett….!!
Siapa Merugi?
Entah mengapa, kemarin saya masih berpandangan bahwa sosok caleg, siapa pun dari parpol apa pun, adalah pejuang demokrasi. Sebagai pejuang demokrasi, saya meyakini, sosok caleg pastilah berintegritas tinggi.
Kini, setelah kontestasi pileg usai, saya jadi terus bertanya-tanya dalam hati. Di mana integritas itu bila untuk meraup suara sebanyak-banyaknya bermodus operandi “kentut” di sana-sini? Di mana integritas itu bila segala cara dihalalkan demi meraih kursi?
Lantas, bila integritas telah sirna, adakah martabat masih bersemayam dalam diri caleg bermodus “kentut” seperti itu? Bolehlah mereka kapabel, bahkan nampak kredibel. Namun tanpa integritas tinggi, apakah itu bukan pengkhianatan terhadap demokratisasi bermartabat?
Sederet tanya terus berkecamuk di dada. Saya sadari kini, ada pertanyaan yang lebih berbobot dibandingkan dengan “sekadar” kapabilitas, kredibilitas, dan integritas. Apa itu? Satu kalimat pendek saja, “Siapa yang merugi?”
Saya temukan satu jawaban, dan saya yakini kebenarannya. Pihak yang merugi, bahkan paling merugi, adalah rakyat sendiri. Ya, rakyat yang mau “dikentuti” dengan sekadar puluhan ribu rupiah, atau paling kencang satu-dua ratus ribu rupiah.
Harapan besar tentang perikehidupan damai sejahtera lima tahun ke depan, terbang sia-sia bersama “kentut” bernominal “segitu aja” per suara.
Rakyat yang berdaulat, pemilik suara, abai terhadap “hukum ekonomi” yang patut dapat diduga bakal dilakoni Si Boss “kentut”. Konkretnya, mengembalikan modal dari usaha meraih empuknya kursi. Modal apa?! Tentu saja modal “kentut”.
Sungguh konyol. Menggadaikan nasib lima tahun ke depan hanya demi wangi aroma “kentut” dua-tiga hari.(#)
*)Penulis alumni Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta, mantan wartawan senior Harian Sore “Surabaya Post” 1982-2002.