JAKARTA, arekMEMO.Com – Wakil Ketua I DPD RI, Nono Sampono, akhirnya mengungkap beberapa penyebab sidang paripurna DPD RI Masa Sidang V Tahun 2023-2024, yang berlangsung Jumat (12/7/2024) sempat diwarnai kericuhan.
Dalam rilis Wakil Ketua DPD RI, Nono mengatakan salah satu pemicunya diduga karena ada pasal di dalam Tata Tertib (Tatib) yang menyatakan bahwa calon pimpinan harus orang yang tidak pernah mendapat sanksi dari Badan Kehormatan (BK) DPD RI. Sehingga calon pimpinan DPD diharapkan benar-benar orang yang tidak pernah punya masalah dan disanksi oleh lembaga.
“Ini kan sangat wajar dan normal. Bahkan bagus sebagai bagian dari upaya kita untuk menjaga marwah dan kredibilitas lembaga di mata publik. Apalagi DPD RI dalam survei Litbang Kompas kemarin, berhasil mendapat kepercayaan publik di atas beberapa lembaga negara lain, termasuk DPR dan KPK,” tandas Nono, Sabtu (13/7/2024).
Ditambahkan Nono, bahwa aturan tersebut sebenarnya sudah ada sejak dulu di Tatib DPD RI menyangkut syarat menjadi pimpinan. Menurut dia, pasal tersebut bukan barang baru. Sudah ada dari dulu, dan pernah sebentar hilang, dan ada lagi. Menurut Nono, aturan tersebut sebagai hal yang sangat wajar. Sehingga, lanjutnya, kalau ada beberapa anggota yang kemarin menolak pasal itu, mungkin karena calon yang akan diusung mereka pernah mendapat sanksi dari BK DPD RI.
“Kemarin saat Ketua DPD Pak LaNyalla mulai membacakan pasal demi pasal Tatib, saya melihat beberapa orang anggota mulai interupsi dan membuat gaduh sidang. Bahkan akhirnya maju ke depan dan berusaha menghentikan materi yang sedang dibaca Pimpinan Sidang. Saya lihat siapa-siapa yang maju mendekati meja pimpinan,” urai purnawirawan berpangkat Letnan Jenderal itu.
Pasal yang dimaksud Nono memang tertulis di dalam Tatib DPD RI yang telah difinalisasi oleh Tim Kerja yang dibentuk setelah masa kerja Pansus Tatib DPD RI berakhir. Yakni Pasal 91 Ayat (5) huruf b, yang menyatakan bahwa calon pimpinan DPD RI tidak pernah melakukan pelanggaran tata tertib dan kode etik yang ditetapkan dengan keputusan Badan Kehormatan (BK).
“Saya menduga anggota yang kemarin ingin menghentikan sidang paripurna, dengan tujuan agar Tatib tidak disahkan, karena ada pasal itu. Mungkin mereka punya calon pimpinan yang akan diusung, tapi pernah memiliki catatan sebagai pelanggar etik di Badan Kehormatan DPD. Jadi mereka berusaha agar Tatib itu dibahas ulang. Terutama pasal 91 Ayat (5) huruf b itu,” imbuhnya.
Penyebab lain, lanjutnya, sejumlah anggota menolak pengesahan Tatib tersebut di Sidang Paripurna, karena Pansus Tatib belum menyampaikan laporan tugasnya di depan sidang. Karena menurut mereka seharusnya Pansus Tatib melaporkan dulu hasil kerja mereka di dalam sidang paripurna. Meskipun masa kerja Pansus Tatib sudah berakhir. Bukan mengesahkan hasil Timja Tatib yang merupakan kelanjutan dari Pansus Tatib yang sudah berakhir masa tugasnya.
Sebagai informasi, Pansus Tatib yang dibentuk DPD RI memang telah berakhir masa tugasnya, setelah diberi waktu 6 bulan dan tambahan 3 bulan untuk menyusun draft tatib. Namun selama 9 bulan Pansus tersebut tidak kunjung menuntaskan tugasnya. Sehingga dalam Sidang Paripurna sebelumnya, lembaga tersebut menyerahkan kepada pimpinan untuk memutuskan, dimana akhirnya pimpinan sepakat membentuk Timja Tatib untuk menuntaskan.
Seperti diketahui, beberapa anggota yang memulai interupsi, bahkan akhirnya maju ke meja pimpinan sidang di antaranya Filep Wamafma (Papua Barat), Ahmad Nawardi (Jawa Timur), Angelius Wake Kako (NTT), Yorrys Raweyai (Papua), Hasan Basri (Kaltara) dan Zuhri M. Syazali (Babel). Bahkan Nawardi terekam kamera sempat merebut mik pimpinan sidang dan berupaya mengambil palu sidang. Sementara sejumlah anggota lainnya terlihat juga melakukan interupsi dari meja masing-masing.
Kericuhan di depan meja pimpinan tersebut membuat beberapa anggota yang mendukung agar Tatib disahkan ikut maju untuk membentengi meja pimpinan sidang. Seperti Habib Ali Alwi (Banten), Andi M. Iksan (Sulsel), Ja’far Alkatiri (Sulut), Sukiryanto (Kalbar), Tgh. Ibnu Halil (NTB) dan Fachrul Razi (Aceh).
Sidang Paripurna DPD RI akhirnya memutuskan untuk menugaskan Panita Perancang Undang-Undang (PPUU) untuk melakukan harmonisasi terhadap materi Tatib tersebut. Sidang pun berakhir dengan tertib, bahkan sejumlah anggota yang sempat bersitegang dengan pimpinan terlihat saling bersalaman dan bermaafan. (*)