JEDDAH, arekMEMO.Com – Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menanggapi tulisan bermuatan opini yang dimuat di portal KBANews dan Freedomnews, dengan judul: “Akhirnya LaNyalla Dukung Anis”. Menurutnya berita tersebut bermuatan opini redaksi, dan tidak utuh, serta terlalu banyak bumbu.
Dikatakan LaNyalla, kemunculan berita itu bermula dari pertanyaan via WA yang diajukan oleh penulis, yang bertanya mengapa dirinya share berita Capres Anis. Yang kemudian dijawab singkat: Wajib Hukumnya, singkat.
“Tetapi kemudian dijadikan tulisan yang bobot opini penulisnya mendominasi, dan dijustifikasi sebagai dukungan saya terhadap satu Paslon. Padahal, saya juga share berita-berita Paslon yang lain. Untuk apa, agar publik luas, terutama konstituen saya di DPD mengetahui,” tukas LaNyalla di sela kunjungan kerjanya di Jeddah, Arab Saudi, Kamis (7/12/2023) waktu setempat.
Ditambahkan LaNyalla dirinya tidak mungkin menjadi pendukung aktif Paslon Pilpres, karena ada dua alasan yang melatari. Pertama, larangan di UU Pemilu kepada pejabat negara (selain anggota DPR) untuk terlibat dalam pemenangan capres. Kedua, karena dirinya sedang memperjuangkan agar Pemilihan Presiden dikembalikan ke azas dan sistem Pancasila, melalui MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
“Secara pribadi saya kenal dengan semua Paslon di Pilpres. Dan saya konsisten menawarkan gagasan kepada bangsa ini, termasuk kepada para Paslon peserta Pilpres, untuk kita kembali ke jati diri dan sistem asli bangsa ini, yaitu Pancasila, dengan menggunakan MPR sebagai wujud penjelmaan rakyat yang utuh, untuk memilih presiden. Karena Pilpres Langsung tidak cocok untuk Indonesia. Ini juga saya pidatokan di acara PSHT yang saat itu dihadiri Anies Baswedan,” tandasnya.
Karena Pilpres Langsung, lanjutnya, masih saja menghasilkan pembelahan (polarisasi) masyarakat dan aksi saling hujat serta caci maki antarpendukung pasangan calon peserta Pilpres. Fakta ini terlihat sangat jelas di media sosial dan di ranah publik tertentu.
Pilpressung tidak cocok diterapkan di Indonesia, sebagai bangsa yang super majemuk, yang sebenarnya berkarakter asli bangsa yang guyub dan komunal, tetapi dipaksa menjadi bangsa individualis dan pragmatis.
“Kita sudah punya sistem asli, pemilihan mandataris MPR melalui wakil yang utuh, alias penjelmaan rakyat, sehingga yang bermusyawarah itu seharusnya para hikmat. Tapi karena praktik penyimpangan yang terjadi di era Orde Baru, sistem rumusan pendiri bangsa itu kita buang, dan kita ganti dengan sistem Barat yang individualis dan liberal, akibatnya kita menjadi bangsa lain, bangsa yang tercerabut dari akarnya,” urai LaNyalla.
Dikatakan LaNyalla, seharusnya saat Reformasi, yang kita benahi adalah penyimpangan yang terjadi di era Orde Baru, bukan mengganti sistem bernegara dengan mengadopsi sistem liberal. Akibatnya kohesi bangsa yang kita rajut berabad-abad seketika bisa rusak hanya karena Pilpressung.
“Makanya dalam beberapa kesempatan, saya selalu sampaikan bahwa polarisasi bangsa yang terjadi akibat Pilpressung harus kita akhiri. Polarisasi di masyarakat sangat tidak produktif dan menurunkan kualitas kita sebagai bangsa yang beradab dan beretika,” papar dia. (kar)