JAKARTA, arekMEMO.Com – Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti meminta dukungan seluruh komponen bangsa untuk berjuang all out mengembalikan UUD 45 kepada naskah asli, untuk kemudian disempurnakan melalui Amandemen dengan teknik adendum.
Hal itu disampaikan LaNyalla dalam Seminar yang digelar Forum Doktor dan Cendekiawan Indonesia (FDCI) yang mengusung tema; Menyempurnakan dan Memperkuat Sistem Bernegara Rumusan Pendiri Bangsa, di Gedung Nusantara IV, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (26/9/2023).
Dalam memperjuangkan ini, LaNyalla mengaku tak mau mengorbankan siapa saja. Termasuk jika harus sampai terjadi keributan. Akan tetapi, LaNyalla menginginkan agar semangat mengembalikan UUD 45 ke naskah asli, diperjuangkan dengan cara santun dan baik.
“Saya perlu dukungan dari rakyat, termasuk Forum Doktor dan Cendekiawan Indonesia di sini. Saya tidak ingin mengorbankan siapa saja. Saya tidak ingin ada keributan di negara kita, kita ingin mengembalikan dengan cara yang santun dengan baik, kemudian semua legowo, tanpa ada keributan,” kata LaNyalla penuh semangat.
Ditambahkan, semua pihak harus menggunakan akal, pikir, dan dzikir dalam memperjuangkan itu semua. Dia tidak ingin peristiwa 1998 terulang. Apalagi sampai ada korban. Dia berharap proses ini terjadi atas kesadaran kolektif bangsa, bahwa sistem hari ini ada yang salah. Kesadaran itu harus lahir sebagai legacy dari orang-orang yang berpikiran waras dan jernih.
“Kapan kita jalan? Kapan kita mulai, ini sudah salat Ashar, sebentar lagi Maghrib. Pada saat Maghrib itulah, kita kembalikan Undang-undang Dasar 45 sesuai naskah asli, untuk kemudian kita sempurnakan dengan cara yang benar. Bukan dengan mengganti sistem bernegara ala Barat seperti sekarang. Tapi harus benar-benar berazaskan Pancasila,” katanya disambut gegap gempita peserta seminar.
Pada kesempatan itu, LaNyalla berharap pada masyarakat untuk tidak menyalahkan Presiden Jokowi, terutama pada pihak-pihak yang membencinya atas sistem kenegaraan amburadul yang berjalan saat ini. Sebab, hal yang patut disoroti, kata dia, adalah konstitusi saat ini, di mana Jokowi dianggap hanya sekadar menjalankannya saja.
“Siapa pun presidennya harus taat pada Konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku. Persoalannya Konstitusi kita sejak reformasi telah dibajak menjadi Kontitusi yang individualis, liberal, dan kapitalistik. Dan pilpres langsung serta dominasi partai politik semakin membuat bangsa ini kehilangan jati diri aslinya. Kita sudah menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa,” tandasnya.
LaNyalla lalu mengatakan, ke depan dirinya berharap, dengan kesadaran kolektif rakyat, akan dapat melakukan pemaksaan agar MPR melakukan Sidang Istimewa dengan agenda tunggal, mengembalikan Undang-undang Dasar 1945 sesuai dengan naskah asli, untuk kemudian dilakukan Amandemen ulang dengan teknik yang benar, yaitu teknik adendum, tanpa mengganti sistem bernegara.
“Jadi nanti pada saatnya nanti, kita bersama-sama akan datang ke MPR. Kita paksa MPR untuk melaksanakan hal tersebut, jadi kita nggak usah demo-demo kecil, capek. Nanti pada saatnya, saya akan sampaikan pada Bapak Ibu, mari kita kumpul (ke MPR),” kata LaNyalla.
Dalam kesempatan itu LaNyalla juga menyindir para Doktor dan Cendekiawan, dimana para pengamandemen Konstitusi di tahun 1999 hingga 2002 silam, juga banyak yang bergelar doktor. Bahkan, sampai hari ini masih ada kalangan akademisi yang juga bergelar doktor menganggap Konstitusi saat ini, yang mengadopsi sistem Barat, sebagai sistem terbaik untuk mewujudkan demokrasi.
“Saya tidak tahu, siapa yang memberi hak mereka merasa sebagai the second founding father bangsa ini. Padahal jelas, para pendiri bangsa sudah tuntas mendiskusikan semua sistem, baik Barat maupun Timur. Sehingga sampai pada kesimpulan bahwa sistem yang paling sesuai untuk negara super majemuk dan kepulauan yang jarak bentangnya sepanjang beberapa negara di Eropa, adalah Sistem Sendiri, yaitu Demokrasi yang berazas Pancasila. Bukan sistem Barat,” tandasnya.
Di tempat yang sama, LaNyalla juga memaparkan tentang Lima Proposal Kenegaraan yang ditawarkan DPD RI sebagai bagian dari penyempurnaan dan penguatan sistem bernegara sesuai rumusan para pendiri bangsa. Di mana di antaranya adalah hadirnya kembali Utusan Daerah dan Utusan Golongan di MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sementara DPR tidak hanya diisi representasi dari partai politik saja, tetapi juga diisi peserta pemilu dari perseorangan yang berbasis provinsi, seperti yang sekarang berada di kamar DPD RI.
Gagasan tersebut menurutnya bukan hal baru. Sebab dunia internasional juga sudah melakukan hal itu. Termasuk 12 negara di Eropa dan yang terbaru adalah Afrika Selatan. “Hal itu sangat penting agar undang-undang yang dihasilkan, yang mengikat secara hukum kepada seluruh warga negara tidak hanya dibuat oleh keterwakilan partai politik saja. Tetapi juga oleh keterwakilan masyarakat non-partisan atau people representative,” tukas dia.
Karena faktanya di Indonesia, lanjut LaNyalla, anggota DPR dari partai politik dalam mengambil keputusan masih sangat didominasi arahan ketua umum partai. Sehingga sangat tidak adil bila 275 juta penduduk Indonesia menyerahkan kepatuhan hukum atas undang-undang yang dibentuk atas arahan ketua umum partai yang mempunyai anggota di DPR.
“Itulah mengapa anggota DPD RI, yang juga peserta pemilu dari unsur perseorangan yang berbasis provinsi secara merata, harus berada di dalam kamar DPR RI sebagai bagian dari mekanisme check and balances yang utuh. Sekaligus sebagai bagian dari suara provinsi dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Rote,” papar dia.
Sementara itu, pembina Forum Doktor dan Cendekiawan Indonesia, Prof Hafid Abbas, mengatakan UUD 1945 hasil amandemen 1999-2002 telah menjadikan Indonesia menjadi negara yang berhaluan politik liberal yang didikte oleh Hukum Darwin, Survival of The Fittest. Yakni yang kuatlah yang menang dan menguasai segalanya.
“Akibatnya, Indonesia berada dalam genggaman oligarki politik dan ekonomi yang telah melahirkan kesenjangan sosial ekonomi yang keempat terburuk di dunia, sehingga negeri ini terbawa pada ancaman disintegrasi,” tuturnya.
Dosen Fisip UI, Dr Mulyadi, sebagai salah satu narasumber dalam seminar, menyatakan sebagai insan akademis dirinya tidak punya argumen ilmiah untuk menolak proposal dari DPD RI.
“Artinya saya mendukung gagasan ini. Bahkan menurut saya siapa saja yang ingin mempertahankan model bernegara seperti sekarang adalah pihak yang justru ingin menghancurkan negara sendiri,” tegas dia.
Dalam pandangannya, ada tiga motif yang melatarbelakangi penggantian konstitusi. Yaitu ingin menguasai ekonomi, kuasai politik, dan kuasai Presiden. Sedangkan dalam teori kekuasaan, kekuasaan itu tidak bersifat distributif.
“Kekuasaan tidak boleh sembarangan diberikan kepada warga negara karena sangat bahaya kalau over kekuasaan. Bisa menindas, antikritik, korup, tak ada partisipatif seperti yang terjadi saat ini,” ucapnya.
Dr Mulyadi juga kembali menegaskan bahwa Indonesia tidak pernah dijajah. Yang dijajah adalah bangsa-bangsa lama seperti bangsa Batak, Aceh, Jawa, dan lainnya.
“Artinya Indonesia itu dibentuk oleh gabungan negara dan bangsa lama. Makanya mereka yang membentuk negara ini sudah sewajarnya diberi penghormatan. Sekarang DPD RI mengusulkan para raja dan sultan nusantara duduk di MPR sebagai utusan daerah kenapa harus dipersoalkan?” tuturnya.
Ekonom yang juga pengamat politik, Dr Ichsanuddin Noorsy, di kesempatan yang sama, menjelaskan amburadulnya amandemen UUD 1945 pada tahun 1999-2002. Bahwa hasil perubahan UUD 1945 tahun 1999 sampai 2002 mengandung kontradiksi, baik secara teoritis konseptual maupun praktik ketatanegaraan.
“Ini sesuai kajian komisi konstitusi di tahun 2002, yaitu terdapat inkonsistensi substansi baik yuridik maupun teoritik. Kemudian ketiadaan kerangka acuan atau naskah akademik dalam melakukan perubahan UUD 1945 merupakan salah satu sebab timbulnya inkonsistensi teoritis dan konsep dalam mengatur materi muatan UUD,” katanya.
Dikatakan oleh Noorsy, UUD 2002 tidak akan pernah membawa bangsa ini kepada keselamatan dan kebahagiaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal puncak tujuan tertinggi keinginan manusia adalah keselamatan dan kebahagiaan.
“Karena itu usulan 5 Proposal dari DPD RI perlu jadi pegangan semua pihak untuk mencapai tujuan hakiki manusia. Mudah-mudahan kita bisa mengakhiri ketersesatan dengan kembali ke UUD 1945,” kata dia.
Di tempat yang sama, Dr Iramadi Irdja, anggota FDCI, mengatakan persoalan bangsa memang hanya bisa diatasi dengan kembali ke UUD 1945. Setidaknya ada tiga hal yang bisa diatasi.
“Pertama persoalan oligarki yang sangat buruk pada bangsa ini. Oligarki bukan hanya di holding, tetapi sekarang ke pusat, ke China atau ‘Mbah’nya oligarki. Persoalan kedua adalah masalah utang. Terakhir yaitu bangkitnya komunisme di Indonesia,” katanya.
Sementara Marsekal Pertama TNI (Purn) Prof. Dr. Achmad Dirwan, anggota FDCI lainnya, pada dasarnya dirinya setuju proposal kenegaraan dari DPD RI supaya bangsa semakin baik dengan perubahan regulasi dan lainnya. Dia juga sepakat harus adanya keterwakilan dari organisasi atau profesi tertentu dalam MPR. Faktanya sangat diperlukan orang yang mumpuni dan ahli di bidang tertentu.
“Saya melihat sendiri bagaimana ada anggota dewan yang bisa dikatakan tidak bisa apa-apa, tetapi bisa duduk sebagai wakil rakyat. Semua itu karena mempunyai modal uang. Artinya dia yang punya modal, biarpun tidak ahli, berpendidikan pas-pasan bisa mudah jadi anggota DPR. Padahal dia pembentuk UU yang mengikat semua rakyat,” tuturnya.
Di akhir acara, Prof Hafid Abbas membacakan pernyataan sikap dari Forum Doktor dan Cendekiawan Indonesia (FDCI). (kar)
Pernyataan Sikap Forum Doktor dan Cendekiawan Indonesia
Kami Forum Doktor dan Cendekiawan Indonesia (FDCI) sebagai wadah para ilmuwan, akademisi, peneliti dan cendekiawan dari berbagai bidang keilmuan dan profesi yang tersebar di seluruh wilayah tanah air telah mengamati secara saksama bahwa; setelah UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 diamandemen sebanyak empat kali, dari kurun waktu 1999 hingga 2002, Indonesia terlihat semakin menjauh dari Pancasila dan cita-cita kemerdekaan yang tertuang pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yakni: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi.
Bahkan sebaliknya, melalui UUD 1945 hasil amandemen tersebut, Indonesia terlihat telah menjadi negara yang berhaluan politik liberal yang didikte oleh Hukum Darwin, Survival of The Fittest, yang kuatlah yang menang dan menguasai segalanya. Akibatnya, kini Indonesia sungguh-sungguh berada dalam genggaman oligarki politik dan ekonomi yang telah melahirkan kesenjangan sosial ekonomi yang keempat terburuk di dunia, sehingga negeri ini terbawa pada ancaman disintegrasi.
Bertolak dari kenyataan itu, Forum Doktor dan Cendekiawan Indonesia menyampaikan sikap mendukung prakarsa dan upaya DPD RI untuk membangun kesadaran kolektif dengan menyempurnakan dan memperkuat sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa dengan cara kembali kepada UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945.
Pertama, mendukung sepenuhnya prakarsa dan upaya DPD RI untuk membangun kesadaran kolektif dengan Menyempurnakan dan Memperkuat Sistem Bernegara Sesuai Rumusan Pendiri Bangsa dengan cara kembali kepada UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945, untuk kemudian dilakukan Amandemen dengan Teknik Adendum.
Kedua, mendukung Proposal Kenegaraan DPD RI sesuai dengan Naskah Akademik yang berisi penyempurnaan dan penguatan sistem bernegara melalui Lima Usulan, yang secara garis besar adalah:
Mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang berkecukupan. Yang menampung semua elemen bangsa. Yang menjadi penjelmaan rakyat sebagai pemilik dan pelaksana kedaulatan.
Membuka peluang adanya anggota DPR RI yang berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan atau non-partisan selain dari anggota partai politik sebagai bagian dari upaya untuk memastikan bahwa proses pembentukan Undang-Undang yang dilakukan DPR bersama Presiden, tidak didominasi oleh keterwakilan kelompok partai politik saja. Tetapi juga secara utuh dibahas oleh keterwakilan masyarakat non-partai.
Memastikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan diisi melalui mekanisme pengisian dari bawah. Bukan penunjukan oleh Presiden seperti yang terjadi pada era Orde Baru. Dengan komposisi Utusan Daerah yang mengacu kepada kesejarahan wilayah yang berbasis kepada negara-negara lama dan bangsa-bangsa lama yang ada di Nusantara, yaitu para Raja dan Sultan Nusantara, serta suku dan penduduk asli Nusantara. Sedangkan Utusan Golongan diisi oleh Organisasi Sosial Masyarakat dan Organisasi Profesi yang memiliki kesejarahan dan bobot kontribusi bagi pemajuan Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan Keamanan dan Agama bagi Indonesia.
- Memberikan kewenangan kepada Utusan Daerah dan Utusan Golongan untuk memberikan pendapat terhadap materi Rancangan Undang-Undang yang dibentuk oleh DPR bersama Presiden sebagai bagian dari keterlibatan publik yang utuh.
Menempatkan secara tepat, tugas, peran dan fungsi Lembaga Negara yang sudah dibentuk di era Reformasi, sebagai bagian dari kebutuhan sistem dan struktur ketatanegaraan.
Ketiga, untuk menghindari pembahasan yang melebar dan terjadinya perubahan tanpa arah. Berikut lima butir kesepakatan dasar (common denominators) berkaitan dengan arah Amandemen UUD 1945 tersebut:
Tidak Mengubah Naskah Pembukaan UUD 1945. Karena di dalam naskah pembukaan UUD 1945 terdapat Falsafah dan asas serta ideologi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI, sekaligus tujuan kemerdekaan dan cita-cita negara.
- Tetap Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia karena negara kesatuan adalah bentuk yang ditetapkan sejak berdirinya negara Indonesia.
- Melakukan Amandemen dengan Teknik Adendum. Ini dilakukan dengan tetap mempertahankan Naskah Asli, BAB dan Pasal-Pasal UUD 1945. Naskah Adendum UUD 1945 diletakkan melekat pada naskah asli.
- Penjelasan dan Naskah Adendum UUD 1945 menjadi satu kesatuan Konstitusi, yang terdiri dari: Pembukaan, Batang Tubuh, yaitu BAB dan Pasal-Pasal, dan Penjelasan serta Adendum Amandemen.
Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidensial dalam Sistem Mandataris, dengan tetap menempatkan pelaksanaan kedaulatan rakyat sepenuhnya dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang merupakan penjelmaan seluruh elemen bangsa. (kar)