MAKASSAR, arekMEMO.com – Aspirasi sejumlah gubernur yang tergabung dalam 21 provinsi penghasil sawit tentang perlunya dana bagi hasil sawit yang disampaikan kepada Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mulai ditindaklanjuti.
Bertempat di dapur redaksi harian Fajar di lantai 4 Graha Pena Makassar, Sabtu pagi (26/9/2020), DPD RI helat focus group discussion tentang dana bagi hasil sawit untuk provinsi. “Serial diskusi ini penting untuk pengkayaan bahan bagi para Senator,” ungkap LaNyalla.
Hadir sebagai panelis, Ketua Komite IV Sukiryanto, Wakil Ketua Komite II Bustami Zainuddin, dosen pasca sarjana UIT Makassar Dr Abdul Talib Mustafa dan hadir secara virtual, ahli perencanaan pembangunan Dr Son Diamar. Tampak pula hadir Senator asal Sulawesi Selatan Lily Amelia Salurapa dan tuan rumah Direktur harian Fajar Faisal Syam.
Saat membuka acara, LaNyalla mengatakan persoalan bermula dari daerah penghasil (pemerintah daerah, red) yang tidak mendapat DBH dari dana puluhan trilyun rupiah yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPD-PKS). Sebagai catatan, di tahun 2019, BPD-PKS mengelola dana Rp. 47 trilyun, yang berasal dari Bea Keluar dan Pungutan Ekspor CPO.
“Sebenarnya niat Presiden Joko Widodo membentuk BPD-PKS baik. Karena badan itu bertugas melakukan peran penelitian, pengembangan, dukungan prasarana, promosi dan peremajaan kelapa sawit. Badan ini juga untuk mendukung program Energi Baru Terbarukan melalui pengembangan Bio Diesel B-30,” urai LaNyalla.
Namun, tambahnya, untuk mendukung program-program di sektor hulu, khususnya untuk petani sawit masih sangat minim. Apalagi untuk pemerintah provinsi penghasil, sama sekali tidak ada. Padahal jalan dan infrastruktur di provinsi juga digunakan oleh perkebunan kelapa sawit. Daerah juga mendapat dampak dari kasus kebakaran lahan dan pencemaran lainnya.
Belum lagi jika dikritisi lebih dalam, BPD-PKS juga punya banyak kelemahan. Berdasarkan data Serikat Petani Kelapa Sawit tahun 2018, terdapat 5 perusahaan sawit yang memperoleh dana dari BPD-PKS sepanjang Januari hingga September 2017, dengan total dana sebesar Rp. 7,5 Triliun.
Perusahaan-perusahaan tersebut, antara lain, Wilmar Group Rp. 4,16 trilyun, Darmex Agro Group Rp. 915 milyar, Musim Mas Rp 1,54 trilyun, First Resources Rp. 479 milyar, dan LD Company Rp. 410 milyar.
Dan pada tahun 2020 ini, Kementerian ESDM menetapkan sebanyak 18 Industri Bio-Diesel yang juga memiliki konsesi perkebunan skala besar mendapatkan jatah pendanaan untuk pengembangan B-30.
Dari dana tersebut, Wilmar Group memperoleh jatah sebesar 2,5 juta Kilo liter (Kl) dan Musim Mas 1 juta Kilo liter. Dan Kementerian ESDM tidak mencantumkan syarat khusus bagi industri tersebut untuk mengambil bahan baku dari koperasi-koperasi petani. Tentu kondisi ini merugikan petani Sawit.
“Jadi, kesimpulan yang kita dapatkan memang harus dilakukan kajian tentang transparansi pengelolaan dana sawit oleh BPD-PKS. Sekaligus, mengupayakan perbaikan sehingga terjadi perubahan kebijakan, agar daerah penghasil, atau provinsi juga mendapatkan DBH sawit. Seperti halnya DBH migas dan pajak,” bebernya.
Lantas darimana memulainya? Secara teknis, sambungnya, memang harus dilakukan Revisi UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Termasuk Tupoksi BPD-PKS. DPD RI sudah memasukkan agenda Revisi UU 33 Tahun 2004 tersebut. Karena bagi kami, memang sudah waktunya dilakukan penyempurnaan dan penyesuaian.
“Untuk itulah, kami dari DPD RI membutuhkan pemikiran dan pandangan dari beberapa kalangan melalui serial diskusi ini. Dan tentu dengan melihat lebih cermat apa yang akan diakomodir dalam Omnibus Law yang sekarang sedang dibahas,” pungkasnya. (ril/bon)