JAKARTA, arekMEMO.com – Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti berharap sistem pendidikan guru berasrama di Indonesia, terutama yang digagas dan diperjuangkan oleh Perkumpulan Perguruan Tinggi Kependidikan Negeri, dapat berjalan dengan baik dan sesuai harapan.
“Kami di DPD RI, khususnya melalui Komite III yang membidangi Pendidikan, tentu akan selalu terbuka untuk berdiskusi dan berdialog,” katanya.
Dikatakan, model pendidikan berasrama juga bentuk paling ideal untuk mendidik guru masa depan yang profesional. Sebab pendidikan berasrama memungkinkan untuk membentuk karakter guru secara intensif. “Sebab, kode etik keprofesionalan guru dianggap perlu diajarkan lewat pendidikan berasrama,” katanya, Senin (15/3/2021) di Jakarta.
Penilaian itu disampaikan LaNyalla dalam Focus Group Discussion Perkumpulan Perguruan Tinggi Kependidikan Negeri (PPTKN), dengan tema; ‘Pendidikan Guru Berasrama’.
Selain Ketua DPD RI, kegiatan ini juga diikuti Ketua PPTKN Profesor Ganefri, Sekretaris PPTKN, Profesor Fathur Rohman, serta sejumlah rektor perguruan tinggi kependidikan negeri. Hadir juga Dirjen Vokasi Kemendikbud Wikan Sakarinto.
Mantan Ketua Umum Kadin Jawa Timur itu mengingatkan, jika sekolah berasrama adalah sekolah dengan durasi proses pendidikan yang lama. Maka, diperlukan tenaga pengajar yang lebih banyak.
Kasus yang dikaji menunjukkan bahwa kisaran rasio guru dengan peserta didik adalah 1 banding 5. Selain tenaga pendidik, juga diperlukan pembina asrama dan berdasarkan kasus yang dikaji, kisaran rasio pembina asrama dengan peserta didik adalah 1 banding 10.
LaNyalla mengingatkan, asrama calon guru tak boleh asal-asalan. Menurutnya, harus ada regulasi yang mengatur peserta asrama. Dari bangun tidur, hingga tidur kembali.
Kurikulum non-akademik di asrama juga wajib dijadikan pertimbangan kelulusan untuk menanamkan karakter pendidik yang cakap kepribadian dan sosial. Karena ukuran keberhasilan pendidikan guru berasrama harus dinilai secara komprehensif. Bukan hanya keilmuan. “Guru berasrama harus mampu menjadi tauladan. Dengan karakter dan budi pekerti yang mampu menjadi acuan anak didik,” ujarnya.
Diakui atau tidak, ada nilai-nilai luhur dan tradisi bangsa yang perlahan mulai memudar. Seperti nilai kejujuran, kesantunan, kebersamaan, dan religius. Digantikan oleh budaya baru yang mengarah pada kehidupan yang hedonistik, materialistik, dan individualistik. “Hal itu makin diperkuat dengan rentannya generasi muda terhadap pengaruh globalisasi,” urainya. (ril/bon)