SURABAYA, arekMEMO.Com – Penjara adalah cermin hukum negara. Kondisi penjara dapat mencerminkan bagaimana hukum negara ditegakkan. Jika penjara dikelola dengan baik dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka hal itu mencerminkan hukum negara ditegakkan secara adil dan manusiawi.
Demikian pendapat Dr Dwi Prasetyo, M.PSDM, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS), dalam Diskusi Publik bertema “Penjara Bukan Negara, Tapi Cermin Hukum Negara” yang berlangsung di Aula Universitas Merdeka, Jl. Ketintang Madya VII Surabaya, Kamis (21/9/2023).
Diskusi ini diadakan oleh Media Panjinasional bekerjasama dengan Divisi Pemasyarakatan Kemenkumham Kanwil Jatim dan Fakultas Hukum Universitas Merdeka Surabaya.
Menurut Gatot Irawan, pimpinan redaksi media Panjinasional.net, pemilihan tema ini berdasarkan fakta dalam proses peradilan di Indonesia bahwa penjara telah menjadi stigma yang cukup menakutkan masyarakat luas, walaupun sudah diganti dengan istilah Lembaga Pemasyarakatan. “Istilah penjara masih menjadi kata baku bagi hakim saat ketok palu putusan pidana,” kata Gatot.
Olah karena itu Gatot menginisasi diskusi publik dengan mengundang sejumlah pakar hukum dan pakar komunikasi, yakni : Dr. Bastianto Nugroho SH MHum Dekan dan Pengajar Universitas Merdeka Surabaya, Dr. H. Solehuddin SH MH pakar Hukum Pidana dari Ubhara Surabaya, Tri Agung Arianto, Amd. IP, SH, M. Hum. M.Kn. Kasubid Pembinaan, TI dan Kerjasama Divisi Pemasyarakatan Kemenkumham Jatim, dan Dr Dwi Prasetyo, M.PSDM, pengajar di Stikosa-AWS. Hadir pula sebagai Keynote Speaker, Dr. Sugeng Purnomo, Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM, Kemenkunham RI.
Sementara itu, dalam kapasitas sebagai ahli komunikasi, Dwi Prasetyo berpendapat bahwa stigma penjara dapat diubah dengan cara mengubah persepsi masyarakat terhadap penjara dan narapidana. Masyarakat perlu dididik tentang tujuan penjara yang sebenarnya, yaitu untuk merehabilitasi narapidana agar dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif. Dan sistem peradilan pidana yang adil dan tidak diskriminatif akan membantu mengurangi jumlah orang yang masuk penjara, dan akan meningkatkan peluang narapidana untuk berhasil menjalani rehabilitasi. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam program-program ini dengan menjadi relawan, mentor, atau pemberi kerja.
“Perubahan stigma penjara membutuhkan upaya yang berkelanjutan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga permasyarakatan, organisasi non-profit, dan masyarakat,” imbuh Wakil Ketua 1 Stikosa-AWS tersebut.
Pendapat yang lebih tegas dikemukakan oleh Solehuddin, yang juga menjadi Ketua Presidium Perkumpulan Dosen seluruh Indonesia. Menurut Solehuddin, selama Undang-undangnya belum diubah, maka stigma penjara akan terus melekat di masyarakat. Walaupun istilah penjara sudah diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas, namun sistem penjara masih nampak karasteristik penjara, masih ada jeruji-jeruji besi.
“Maka undang-undangnya dan sistemnya harus diganti, misalnya kata-kata hakim memutuskan bahwa terdakwa dinyatakan terbukti dan bersalah secara sah maka hakim memutuskan hukuman pidana sekian tahun di rumah tahanan atau Lembaga Pemasyarakatan, tidak lagi menyebut penjara,” tegas dosen Ubhara ini.
Menurut pengamatan Solehuddin, masih banyak pelanggaran hukum yang terjadi di dalam Lapas, antara lain praktik negosisasi dan pungutan liar, pemerasan, kekerasan dan perlakuan tidak senonoh yang sebenarnya tidak perlu terjadi di dalam Lapas. Bahkan seolah-olah Lapas diumpamakan terdapat negara sendiri, yang memisahkan pelaku tindak pidana dengan masyarakat.
Oleh karena itu Solehuddin berharap Pemerintah mencari solusi agar dapat menekan jumlah tindak pidana yang terjadi, namun tidak dengan memenjarakan seseorang. Harus ada upaya-upaya selain menjatuhkan pidana penjara, mengingat semakin banyak narapidana maka semakin berat beban APBN karena setiap narapidana harus diberi makan, fasilitas penjagaan, perawatan dan lain lain, tegas Solehuddin. (kar)