BERMACAM aliran seni lukis seperti naturalisme, realisme, ekspresionisme, surealisme, abstrakisme, dekoratifisme dan entah aliran apa lagi — menyebar di ratusan booth PSLI (Pasar Seni Lukis Indonesia) ke-14 yang berlangsung di Jatim Expo, Jl. A. Yani 99, Surabaya, 8-17 November 2024.

Termasuk aliran kontemporerisme sebagaimana dikatakan pelukis Arief Wong yang saya temui di booth-nya nomor 40, Minggu sore 17 November lalu.

Ya, Arief Wong menyebut gaya atau corak lukisannya seperti itu.

Memang unik lukisan-lukisan karyanya. Bahkan naif. Semua bentuk tubuh manusia atau hewan dideformasi, lantas ditransformasi dengan bentuk atau lingkungan tertentu.

Dengan gaya lukisan seperti itu, Arief menyatakan dengan tegas tapi rendah hati bahwa pelukis adalah profesinya. Dan dia sangat yakin, lukisan-lukisan karyanya disukai oleh kalangan tertentu yang menganggap estetika bukan perkara pemahaman yang denotatif (dimensi tunggal) namun juga bersifat konotatif (dimensi majemuk).

Sebab, katanya, apapun aliran dalam seni lukis, basisnya satu: estetika.

Oleh sebab itu, seorang seniman berhak mengatakan bahwa lukisan karyanya –misalnya– condong ke bio-surealisme, abstrakisme rintik hujan, dekora masa, atau aliran kontemporer.

Soal terminologi ‘kontemporer’ dimaknai sebagai ‘masa terkini’ ya gak apa-apa. Memang seperti itu artinya, tetapi Arief Wong menyebut karya-karyanya masuk ke aliran kontemporerisme, adalah haknya. Begitulah setidaknya yang saya pahami dari sikap seorang Arief Wong yang _low profile_ ini.

Jadi, perkara pemutusan aliran dalam seni lukis, itu bukan semata hak prerogatif kritikus seni. Pelaku seni rupa pun berhak mengatakan corak atau gaya lukisannya. (Ini kata saya).

***

Ngobrol dengan Arief Wong yang _baby face_ ini memang asyik. Sosoknya kalem, tidak meledak-ledak, bahkan tampak _innocent_.

Sejak kecil Arief sudah mulai melukis. Bahkan saat SMP bergabung dalam pameran bersama.

Darah seni mengalir dari kakeknya yang pematung. Dia beruntung didukung oleh lingkungan yang cinta seni. Adik dan Paklik-nya juga pematung.

Oleh sebab itu pada tahun 1995 saat dia mendaftar kuliah di jurusan Seni Rupa STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta) Surabaya, Arief _enjoy-enjoy_ saja, termasuk memilih corak lukisannya ini — sejak kuliah di STKW.

Pernah oleh salah satu dosennya –Nuzurlis Koto– dia ditanya, “Arief, kamu yakin dengan pilihan corak seperti ini ?!”.

“Yakin, Pak !”.

Lantas oleh Nuzurlis Koto, _next_ dianjurkan keliling dunia. Pemaknaan pernyataan dosennya itu bahwa corak lukisannya akan diterima secara global.

Ternyata tidak keliru. Hal ini agaknya simetris dengan realita bahwa karya-karyanya banyak dibeli oleh kolektor dari USA, Singapura, Australia, Begia, dan Belanda.

Salah satu karyanya berjudul ‘Horse Spirit’ (120 x 120 cm, akrilik di atas kanvas) dikoleksi oleh Mr. Frans pemerhati seni dari Belanda dengan nominal Rp 40 juta.

_By the way_, tentang anjuran Nuzurlis Koto untuk keliling dunia apa sudah dilaksanakan?

“Belum,” ujarnya. “Tapi saat ini saya punya program pameran tunggal keliling Indonesia,” lanjutnya.

Pernyataan ini, diperkuat oleh pelukis, pematung, penggurit dan pemimpin redaksi Majalah ‘Jayabaya’ Widodo Basuki, yang saat wawancara berlangsung, duduk di depan saya.

Mas Wid adalah teman se-jurusan Arief Wong di kampus STKW.

“Mas Arief sedang melakukan program pameran tunggal 5 kota,” kata Widodo Basuki, disusul senyum ramahnya.

Program pameran tunggal 5 kota itu : Surabaya, Batu, Jogja, Bali, dan Jakarta. Yang belum dilaksanakan di Jogja dan Bali.

Saat pameran tunggal di Galeri Raos, Batu, bulan Juni tahun lalu, menampilkan 65 karya lukisan. Sold 10 karya dengan harga minimal Rp 10 juta.

“InsyaAllah tahun depan di Bali dan Jogja,” kata Arief Wong.

***

Menarik yang dilakukan Arief Wong di _booth_ nomor 40 PSLI XIV, dia tidak saja memamerkan karya-karyanya dengan media akrilik di atas kanvas, juga karya seni grafis cukil. Persisnya: 12 karya seni grafis cukil dan 7 lukisan akrilik di atas kanvas.

Rupanya ada jejak yang diikuti. Anak sulungnya –Risky Wong– saat ini kuliah di Universitas Pendidikan Adi Buana, Surabaya, mengambil jurusan Seni Rupa.

‘Adiknya?”, tanya saya.

“Zora Wong masih SMA, Pak. Di SMA Hang Tuah, Waru, Sidoarjo,” jawab Arief Wong yang studio dan rumahnya berlokasi di Perum Permata Alam Permai, Gedangan, Sidoarjo, Jawa Timur. (Amang Mawardi).