Semua ibadah itu untuk dirimu, hanya puasa untuk Ku.” Demikian statement Gusti Allah tentang puasa. Kenapa begitu? Kok bukan sembahyang ato ibadah lainnya? Why? Tuhan itu Maha Suci yang welas asih pada setiap mahluk pada kondisi puasa yang abadi.
Untuk menduplikasi kesucian Ilahi, pada setiap masa kenabian sejak Adam hingga Muhammad selalu diwarnai ritual berupa puasa dengan masa pelaksanaan serta pola yang berbeda.
Lalu mengilas balik pada zaman now. Tiap menjelang Puasa Ramadhan banyak yang lebay dengan menyampaikan beragam ucapan ”Selamat” atas ibadah yang sebetulnya amat sangat berat. Padahal belum tentu yang mengucapkan bisa selamat menjalani puasa.
Kok berat? Kalo cuma menahan lapar dan dahaga sejak terbit fajar (bukan imsak) lalu berbuka saat matahari tenggelam itu kan cuma mengubah jadwal makan doang. Enteng. Malah inginnya makan enak2 yang di luar masa puasa tidak dinikmati. Karena itu patut dipertanyakan, mana tirakatnya?
Lha beratnya dimana? Hakekatnya puasa adalah menahan diri atas “makanan hati” yang ada di luar diri. Apa itu? Tidak lain adalah godaan, kesenangan serta segala iming2 di luar diri, itu yang harus diwaspadai supaya tidak masuk ke hati lalu merusak kesuciannya.
Berat juga ya? Makanya jangan menganggap enteng puasa jika memahami hakekatnya. Apapun yang gampang diucapkan belum tentu lulus melaksanakan. Gitu ya? Yaiyalah, mulane lebih baik diam selama menjalani ujian dalam mensucikan hati. Jika lulus akan menjadi pribadi yang fitri, suci hati nuraninya.
Jika tidak lulus? Ya cuma merasakan lapar dan dahaga, sementara hatinya tidak berubah, gampang ngamukan, rumongso bener, rumongso sebagai wong taat syareat n macem2 kesombongan lainnya.
Ealaaaaa…. (rokimdakas)