Di Jawa ada tradisi, untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, yaitu Megengan. Melalui Megengan diharapkan adanya persiapan khusus dalam menghadapi bulan yang disucikan dalam Agama Islam tersebut. Oleh karena itu, tradisi ini dinamakan Megengan yang secara lughawi berarti Menahan.
Dalam Pelaksanaannya, Tradisi Megengan di berbagai daerah di Pulau Jawa tidaklah selalu sama dan setiap daerah memiliki keunikan tersendiri dalam melestarikannya. Namun secara umum tradisi ini diwujudkan dalam upacara selamatan khas Jawa.
Tiap-tiap kepala keluarga mengundang para tetangga untuk bersama-sama menikmati hidangan makanan yang sebelumnya memang telah disiapkan. Dimulai dengan mekanisme doa yang dipimpin oleh seorang imam yang telah dipilih.
Selain Ritual Selamatan, dalam Tradisi Megengan juga dihiasi dengan ragam kegiatan seperti Kerja Bakti, Ziarah Kubur, Bersedekah dan lain-lain.
Di Kabupaten Demak, tradisi ini dilestarikan dengan keunikan tersendiri, dimana terdapat Pasar Tiban yang ditempatkan di Alun-alun Demak, berbagai makanan dijual oleh para pedagang dadakan.
Penjual yang demikian sebelumnya tidak pernah membuka warung. Namun, begitu ada Megengan mereka berjualan. Mereka menjajakan masakan dengan menu-menu khas yang jarang dijumpai di hari-hari biasa. Warga sekitar mendatangi event ini untuk memuaskan diri di dalam icip-icip masakan.
Dalam Tradisi Megengan, terdapat kue yang menjadi ciri khas atau simbol dari tradisi tersebut, yakni Kue Apem. Dikatakan bahwa keberadaan Kue Apem ini memiliki makna tersendiri dalam kaitannya dengan Megengan.
Ada yang mengatakan bahwa istilah “Apem” berasal dari kata Afwan (bahasa arab) yang tediri dari huruf ‘ain, fa, wau. Biasanya kalau berdiri sendiri didepannya ada huruf alif dan lam, yang dibaca al-afwa, yang artinya maaf.
Berangkat dari pemaknaan tersebut, Budaya Megengan juga digunakan sebagai ajang silaturrahim dengan membagikan Kue Apem yang disimbolkan sebagai permintaan maaf sebelum memasuki Bulan Suci Ramadhan.
Tradisi ini merupakan hasil Akulturasi Budaya Lokal dan Budaya Islam. Sebelum kedatangan Agama Islam di Pulau Jawa melalui Walisongo, di zaman pemerintahan Majapahit juga bisa didapati tradisi serupa yang disebut dengan “Ruwahan“.
Tradisi ini berkaitan dengan bulan Ruwah (bulan jawa yang bersamaan dengan bulan Sya’ban pada penanggalan Hijriyah). Istilah Ruwah dimaknai sebagai Arwah yang berarti Roh, dalam hal ini adalah Roh para leluhur dan nenek moyang.
Ketika Islam mulai berkembang di tanah Jawa, salah satu jalan dakwah yang dipakai adalah pendekatan budaya lokal. Sunan Kalijogo yang menjadi salah satu dari kesembilan wali, adalah yang paling berperan dalam jalan Dakwah tersebut. Diyakini pula bahwa beliau yang pertama kali memperkenalkan Tradisi Megengan.
Diceritakan, Sunan Kalijaga berdakwah pada masyarakat Jawa di pedalaman (terutama Jawa Timur dan Jawa tengah bagian selatan) dengan menggunakan pendekatan Sosial Budaya.
Salah satunya adalah merubah atau memodifikasi Tradisi Ruwahan menjadi Tradisi Megengan. Biasanya sesajen dalam Ruwahan biasanya dikhususkan untuk arwah dan tidak boleh dimakan, pada megengan sesajen tersebut diganti dengan sedekah makanan yang dibagikan dan dimakan bersama. (cak bon/dari berbagai sumber)