SURABAYA, arekMEMO.Com – Mengulang sukses gelar pengajian maiyah di panggung terbuka halaman kampus Stikosa AWS pada akhir Juli 2024 lalu, komunitas Bang Bang Wetan kembali menggelar pengajian serupa di tempat yang sama, Minggu (20/10/2024) malam. Kendati tanpa kehadiran sang maskot, Mas Sabrang Neo Letto, namun pengajian maiyah malam itu tetap dibanjiri para jamaah yang mayoritas anak muda.
Mengangkat tema “Membaca takdir nusantara, menuju Indonesia berdaulat” menghadirkan tiga narasumber dari beragam latar belakang profesi. Yakni Dr Trijoyo dari kalangan akademisi, Komikal Fuad Andi Sasmita dan Totenk Rosmawan, pimpinan Sanggar Lidi Surabaya dari kalangan budayawan. Walaupun tema yang diangkat relatif cukup berat, namun pengajian tetap dalam suasana cair dan santai. Seloroh komedian Fuad dengan logat khas Madura serta selingan ludrukan Robert Bayonet dan Arif dari grup ludruk Luntas cukup menyegarkan suasana.
Tema Membaca takdir nusantara berangkat dari pemikiran sang pendiri pengajian maiyah, Emha Ainun Najib atau sering dipanggil Mbah Nun, bahwa nusantara ini membutuhkan kebangkitan. Tidak hanya dalam pembangunan fisik dan ekonomi, tetapi lebih penting lagi, kebangkitan spiritual. Seperti kisah nabi Khidir yang merusak perahu untuk menyelamatkan masa depan. Kita harus siap merusak “perahu-perahu”, yakni sistem yang selama ini tampak berjalan baik, tapi sesungguhnya membawa kehancuran. Jika ingin berdaulat, kita harus siap untuk mengorbankan kenyamanan semu demi masa depan yang lebih bijak dan berkelanjutan.
Tema ini seolah memberi pesan khusus kepada pemimpin baru Republik Indonesia, Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gilang Rakabuming Raka beserta jajaran kabinet yang baru dilantik pada hari yang sama, 20 Oktober 2024.
Sebagai ahli sejarah Islam, Trijoyo menyampaikan pandangannya bahwa di setiap kemajuan peradaban suatu bangsa selalu ada pemimpin yang mempunyai kapasitas sesuai zamannya. Faktor pertama yang harus dibangun terlebih dahulu adalah sektor ekonomi dan keamanan. Kegiatan ekonomi dan perdagangan dapat berjalan baik jika keamanan suatu negara terjamin aman, baik militer yang kuat maupun kemampuan dalam mengendalikan keamanan. Setelah itu baru sektor pendidikan atau peradaban.
Trijoyo mengambil contoh masa kepemimpinan Sultan Harun Al Rasyid (786 – 803 M), khalifah kelima dari Dinasti Abbasiyah. Masa ini merupakan puncak keemasan Islam yang diakui dunia. Pada saat itu Baghdad menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dunia. Perbedaan pendapat merupakan hal yang biasa. Bahkan timbulnya empat mashab Syafii, Hambali, Maliki dan Hanafi terjadi pada masa Abbasiyah, tegas dosen Ilmu Sejarah Islam salah satu universitas di Surabaya itu.
Sebaliknya kemunduran suatu bangsa atau hancurnya suatu dinasti disebabkan oleh disintegrasi atau perpecahan dan korupsi. Jika pemimpin suatu negara melakukan korupsi, maka akan ditiru oleh pejabat-pejabat di bawahnya. Akhirnya suatu negara hancur karena korupsi, tegasnya.
Banyak pikiran dan pertanyaan kritis yang dilontarkan narasumber dan jamaah yang hadir. Sampai waktu menunjukkan pukul 01.00 dini hari, diskusi masih berlangsung dengan seru. Dalam beberapa kali kesempatan, Ketua Stikosa AWS Dr Jokhanan Kristiyono, M.Med.Kom menyatakan bahwa Stikosa AWS memang memberi wadah public space atau ruang terbuka untuk acara diskusi secara terbuka dan bebas menyampaikan uneg-uneg atau pendapat.
Selain pengajian maiyah Bang Bang Wetan, Stikosa AWS juga akan menggelar kembali acara forum komunikasi, diskusi dan belajar terbuka bertajuk MUNIO ! yang mendapat sambutan sangat baik dari banyak pihak. Acara ini merupakan rangkaian dari Dies Natalis Stikosa AWS ke-60. (*/kar)