JAKARTA, arekMEMO.Com – Dosen Ilmu Politik SKSG-Fisip Universtas Indonesia, Dr Mulyadi, turut menyoroti kericuhan yang terjadi pada Sidang Paripurna DPD RI yang digelar pada Jumat (12/7/2024) lalu.
Pemicu permasalahan ditengarai adanya perubahan Tata Tertib (Tatib) DPD RI yaitu syarat calon pimpinan DPD RI tidak pernah dipidana dan tidak pernah mendapat sanksi etik dari Badan Kehormatan DPD RI.
Menurut Dr Mulyadi, ketentuan itu merupakan indikator integritas politik yang koheren: valid dan reliabel. Sehingga tidak perlu dipermasalahkan apapun dalil dan argumentasinya. Karena integritas harus jadi ukuran. Bukan soal tua atau muda usia.
“Kemudian ketika ada politisi dan pengamat politik yang menolak dan sinis dengan persyaratan tersebut, maka patut dipertanyakan integritas mereka,” kata Dr Mulyadi kepada wartawan, Kamis (18/7/2024).
Dalam konteks kepentingan institusi, lanjut dia, rekrutmen kepemimpinan politik nasional di DPD RI harus mengacu pada rekrutmen politik, dimana kandidat harus memenuhi tiga kriteria atau syarat. Yaitu memiliki kapasitas politik, berupa kemampuan akademik yang lebih, memiliki kapabilitas politik, berupa kemampuan dalam mendorong atau membuat fungsional organisasi yang pernah dipimpinnya dan memiliki integritas politik, berupa moralitas politik yang sangat tinggi.
“Tiga kriteria ini harus menjadi ketentuan dalam Tata Tertib tentang seleksi kepimpinanan politik di DPD. Kriteria itu sangat penting karena juga merupakan prasyarat bagi DPD untuk memperoleh dukungan luas dari masyarakat dan untuk menjamin tugas, fungsi, dan tanggung jawab politik DPD sebagai institusi perwakilan terlaksana dengan baik,” papar dia.
Ditambahkan Dr Mulyadi, DPD merupakan lembaga publik yang merepresentasikan perwakilan politik dan keterwakilan politik. Oleh karena itu sangat sulit bagi publik politik mempercayai DPD sebagai repsentasi perwakilan politik dan keterwakilan politik bila dipimpin oleh orang-orang yang bermasalah moralitas (integritas) politiknya, seperti pernah dijatuhi sanksi etik karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik institusi.
Sejauh ini, dalam penilaian Dr Mulyadi, kinerja pimpinan periode 2019-2024 mampu menjaga kinerja lembaga DPD RI on the track dan dipercaya publik. Bahkan capaian-capainnya sangat luar biasa, walaupun kedudukan DPD RI yang sengaja “direndahkan” oleh Konstitusi, yaitu UUD RI hasil perubahan tahun 1999-2002.
“Seharusnya dengan posisi itu DPD RI menjadi “bulan-bulanan politik”. Tetapi faktanya tidaklah demikian. Selama satu periode ini (2019-2024) publik politik justru menaruh kepercayaan kepada DPD. Keberhasilan pimpinan bersama anggota DPD periode 2019-2024 memaksimalkan kedudukannya yang “direndahkan” justru membalikkan pesimisme politik. Di tengah-tengah memburuknya institusi politik lainnya seperti partai politik, DPR, dan MPR,” tukas dia.
Atas keberhasilan itu, maka menurut Mulyadi dapat dimaklumi jika muncul dukungan politik di tengah masyarakat, seperti spanduk, baliho, dan videotron, serta dukungan dari sekolompok anggota DPD lama dan baru terpilih kepada pimpinan DPD periode lama (2019-2024) untuk kembali memimpin DPD pada periode 2024-2029. Secara politik, dukungan yang bersifat eksplisit itu, bukanlah suatu hal yang harus dipersoalkan oleh siapapun termasuk anggota DPD RI.
“Secara gampangnya, bahwa keberhasilan pimpinan bersama anggota DPD periode 2019-2024 mengangkat nama baik DPD RI dilatari oleh kriteria rekrutmen politik yang berimplikasi pada semangat dan tekad politik untuk selalu mengorganisir aspirasi politik lokal dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat di daerah,” tutupnya. (*)