SURABAYA, arekMEMO.Com – Generasi muda sekarang gampang dilanda cemas. Maka wajar jika tema pendidikan yang menjadi fokus perhatian saat ini adalah masalah penanganan emosi. Psikolog senior Drs. Asep Haerul Gani menyampaikan fenomena tersebut dalam acara Meet & Greet di Sekolah Alam Insan Mulia (SAIM) Surabaya, Jl. Medokan Semampir Indah 99-101, Surabaya,  Sabtu (13/7) siang.

“Dari pengamatan saya, ada dua kata yang paling sering diucapkan oleh anak muda sekarang. Yaitu kata cemas dan kata ‘overthinking’ (overthinking adalah menghabiskan waktu untuk memikirkan hal tertentu secara berlebihan dan berulang-ulang, red),” kata Pengasuh Ponpes Psikoterapi Tasikmalaya itu.

Dijelaskan, terdapat perbedaan makna antara kata “takut”, “phobia”, dan “cemas”. Dalam kasus takut, ada objek nyata yang ditakuti. Misalnya orang takut dengan singa. Maka solusinya relatif lebih mudah yaitu dengan menghindari singa. Tetapi kalau disodori boneka singa dia masih takut, maka itu dinamakan phobia.

“Yang repot itu dilanda cemas. Karena dalam kecemasan, objeknya tidak terlihat jelas. Orang dapat mencemaskan hal-hal yang mungkin tidak terjadi. Bahkan bisa mencemaskan bayang-bayang yang diciptakannya sendiri,” kata Kang Asep.

Maka setiap orang perlu sekali mempelajari kecerdasan emosi. “Kecerdasan emosi meliputi tiga hal. Pertama mengenali emosi, kedua memfasilitasi, dan ketiga mengendalikan emosi,” kata pakar human capital SDM ini.

Menurutnya, dengan menangani masalah emosi diharapkan kita semua menjadi well being, menjadi sejahtera. Ciri seseorang dikatakan sejahtera adalah bilamana dia merasa bahagia, merasa puas, dan kadar stresnya rendah.

Dalam acara yang dihadiri wali murid siswa baru KB, TK, dan SD SAIM tersebut juga hadir narasumber pakar pendidikan Dr. Martadi, M.Sn. Menurut Wakil Rektor IV Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini pendidikan adalah jembatan menuju masa depan.

“Maka tugas kita adalah menemukan pendidikan yang tepat, agar anak kelak tidak “kecemplung” ke sungai. Kalaupun sampai ke seberang jalan, tidak salah arah. Jangan sampai materi yang dipelajari di sekolah sudah kedaluwarsa karena tidak sesuai dengan kebutuhan hidup pada 16 sampai 20 tahun mendatang,” ujarnya.

Untuk itu dirinya menyarankan perlunya lembaga pendidikan menyesuaikan diri dengan ciri dan karakter peserta didik, yang saat ini disebut sebagai generasi alpha. Gen-alpha adalah generasi yang lahir antara tahun 2010 hingga 2024.

Dijelaskan, berdasarkan penelitian ciri Gen-A memiliki kecemasan yang tinggi. Maka lembaga pendidikan hendaknya dapat membangun optimisme sehingga dapat mengurangi kecemasan mereka. Ciri berikutnya adalah multitasking, anak sekarang lihai mengerjakan banyak hal dalam waktu yang bersamaan, tetapi tidak mampu fokus pada satu kegiatan dalam tempo yang lama.  Maka pendidikan harus dapat melayani karakteristik seperti itu.

“Saya meyakini bahwa setiap anak adalah hebat. Maka tugas kita sebagai orangtua dan guru adalah menemukan potensi dan bakat yang ada pada dirinya. Kemudian mengungkitnya, memfasilitasinya, sehingga potensi itu muncul menjadi kompetensi nyata,” ujar salah seorang konseptor pendidikan SAIM itu.

Ditambahkan, tantangan ke depan semakin sulit. Jumlah penduduk dunia yang kian bertambah otomatis akan menambah tingkat kompetisi antarmanusia. Di sisi lain kemajuan teknologi juga makin tinggi, maraknya penggunaan AI (artificial intelligences) membuat banyak tenaga kerja yang tersingkir.

“Itulah sebabnya setiap orang harus melakukan reskilling, meningkatkan keterampilan diri. Upgrade kemampuan. Terus belajar berapa pun usianya, agar tidak dilibas zaman,” katanya. (ono)