SURABAYA, arekMEMO – Kabar Presiden RI Joko Widodo makan siang bersama Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (30/10/2023), mendapat perhatian serius dari pakar komunikasi Stikosa AWS, Dr. Jokhanan Kristiyono, ST, M.Med.Kom.
“Tentu saja ada dua hal yang bisa kita garis bawahi. Pertama dampak komunikasi politik yang mengarah pada citra positif dan citra negatif,” ungkap Jokhanan di Kampus Stikosa AWS, Surabaya, Senin (30/10/2023).
Dampak citra positif, kata Jokhanan yang juga tercatat sebagai Ketua Stikosa AWS ini, pertemuan yang ada bisa menjadi cermin semangat demokrasi, dialog, dan perdamaian.
“Hal ini dapat dianggap sebagai langkah positif menuju rekonsiliasi, kolaborasi, dan kerja sama antara berbagai pihak yang sebelumnya bersaing atau berseberangan. Citra positif dapat tercipta jika pertemuan tersebut dilakukan secara terbuka, transparan, dan dengan niat baik untuk mencapai tujuan bersama yang lebih besar,” jelasnya.
Sementara citra negatif, pertemuan semacam ini juga dapat dianggap sebagai tindakan politik pragmatis atau strategis.
“Beberapa pihak mungkin melihatnya sebagai upaya pencitraan atau untuk kepentingan politik pribadi, terutama jika pertemuan tersebut tidak diikuti dengan tindakan konkret yang mendukung kesejahteraan masyarakat atau penyelesaian masalah yang lebih besar,” tegas Jokhanan.
Pertemuan antara pemimpin politik yang berasal dari kubu berseberangan atau partai yang berbeda terjadi di banyak negara, termasuk di Amerika Serikat.
Jokhanan mencontohkan, setelah Pemilu 2016, Presiden terpilih yakni Donald Trump bertemu dengan pesaingnya, Hillary Clinton di Gedung Putih. Langkah ini dilakukan untuk menunjukkan persatuan setelah pemilu yang sengit.
“Dan ini memberi kesan pada khalayak bahwa bangsa Amerika sedang dalam keadaan baik-baik saja,” tegasnya.
Di Amerika, lanjut Jokhanan, terkadang, anggota Kongres dari partai yang berbeda bekerjasama dalam isu-isu tertentu. Contohnya adalah RUU reformasi imigrasi yang melibatkan anggota Kongres dari kedua partai, Partai Demokrat dan Partai Republik.
Jokhanan kemudian mengingatkan, persepsi masyarakat terhadap pertemuan ini akan sangat tergantung pada konteks politik, perilaku pemimpin yang terlibat, dan hasil dari pertemuan tersebut.
“Dalam banyak kasus, pertemuan seperti ini dapat membantu meredakan ketegangan politik dan membangun persepsi bahwa ada dialog bahkan kerja sama di antara berbagai pihak, tetapi hasilnya akan bergantung pada bagaimana pertemuan tersebut dijalankan dan apakah janji-janji atau kesepakatan konkret diikuti dengan tindakan yang konsisten,” jelasnya.
Dalam konteks pertemuan Jokowi dan tiga kandidat, bisa jadi ada opini yang dibangun bahwa mereka tidak sedang bersitegang. Presiden Jokowi, misalnya, sempat dituduh sebagai pihak yang mengamini tradisi poltik dinasti gara-gara gagasan jabatan presiden tiga periode ditolak.
“Saya sangat berharap, meski ini bukan keharusan, Presiden bisa menjelaskan situasinya. Tentang Kaesang Pangarep yang kini jadi Ketua Umum PSI, dan Gibran Rakabuming Raka yang kini jadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo, bahkan tudingan politik dinasti itu sendiri,” jelas Jokhanan.
Dalam komunikasi politik, dengan Presiden Jokowi mengatakan bahwa sebagai orangtua ia hanya mendoakan dan merestui langkah Gibran menjadi cawapres, ini bisa dimaknai sebagai menyetujui bahkan mendorong.
“Komunikasi politik kadang dimaknai apa yang terucap, dan ini tidak mengenal logika awam apalagi yang tersirat. Misal ada tokoh agama mendoakan salah satu capres gara-gara disambangi, maka besok akan muncul pendapat, oh kiai ini mendoakan si A jadi presiden,” terang Jokhanan lagi.
Tapi karena alasan apa pun, kata Jokhanan, pertemuan Presiden dengan tiga calon ini menjadi catatan yang sangat positif. “Ini tradisi yang baik. Dan untuk urusan ini, Presiden Jokowi benar-benar patut dipuji,” tegasnya. (kar)