Oleh: Yunanto
Hari ini, 21 April, genap 140 tahun silam Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah. Pejuang emansipasi perempuan Indonesia berdarah biru ini, tidak angkat senjata. Bagai jurnalis, Bunda Kartini berjuang lewat ujung penanya.
Syukurlah, Putri Sejati ini memiliki sahabat yang berempati pada pergolakan batinnya. JH Abendanon namanya. Sahabat inilah yang tekun mengumpulkan surat-surat RA Kartini kepada para sahabat. Kemudian ia bukukan dengan judul Door Duisternis Tot Licht. Buku ini telah dialihbahasakan di bawah judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Saya membaca sebagian saja dari surat-surat Eyang Putri Kartini kepada para sahabatnya. Luar biasa! Ibu Kita Kartini menerapkan prinsip-prinsip dasar Bahasa Indonesia Jurnalistik (BIJ) dalam redaksional surat-suratnya. Ciri khas BIJ yang mencolok: singkat, lugas, logis, mudah dicerna dan dipahami, serta enak dibaca.
Saya sangat yakin, Raden Ajeng Kartini tidak mempelajari disiplin Ilmu Jurnalistik, pada zamannya. Mustahil pula kolonialis Belanda mengizinkan masuknya disiplin ilmu Publisistik Praktika sebagai “induk semang” Ilmu Jurnalistik.
Pasalnya, disiplin ilmu ini mempelajari strategi komunikasi membangun dan membentuk opini publik menggunakan media. Berbahaya bagi kolonialis.
Hal yang membuat saya terpana, struktur tata bahasa dalam surat-surat RA Kartini, beciri khas jurnalistik. Tidak ada satu kalimat pun yang terdiri lebih dari 20 kata. Buktinya, antara lain, satu paragraf surat kepada Ny. Abendanon, 4 September 1901, berikut ini:
Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas. Di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang jahat. Pergi! Pergilah! Berjuang dan menderitalah, tetapi bekerja untuk kepentingan yang abadi.
Sangat jelas, kalimatnya pendek-pendek, tidak sampai 20 kata per kalimat (ciri khas singkat). Kandungan makna kalimat tidak membias (lugas). Kehendak dalam kalimat pun rasional (logis). Keseluruhan kalimat dalam paragraf mudah dicerna, mengalir hingga enak dibaca.
Satu poin lagi, nampak jelas Bunda Kartini berorientasi pada komunikan (penerima surat) yang dituju. Hal itu merupakan ruh jurnalistik. Tanpa orientasi lebih dahulu kepada komunikan, maka target komunikasi Sang Komunikator berpotensi gagal.
Ibu Kita Kartini tidak mengenyam pendidikan tinggi. Dalam usia remaja ia dinikahkan dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.
Sebagai istri keempat dari Sang Bupati, Putri Sejati Indonesia ini tetap memperjuangan emansipasi perempuan dengan caranya sendiri.
Opini ini saya tutup dengan otokritik. Konkretnya, lebih dari seabad silam, RA Kartini mampu berbahasa tulis dengan ciri-ciri khas jurnalistik: singkat, lugas, logis, mudah dicerna, enak dibaca.
Sepatutnya, kita (jurnalis) sebagai generasi penerus harus mampu pula. Bahkan, harus bisa lebih baik.
Bila tidak?
Eyang Putri Kartini akan “tersenyum prihatin” di surga-Nya, karena “habis gelap tidak terbitlah terang”.
* * * * *
Pakisaji, Malang, 21 April 2019.
*)Penulis adalah alumni Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta; wartawan Harian Sore “Surabaya Post” 1982-2002.