NGAWI, arekMEMO.com – Bagi sebagian orang, akar jati atau bonggol merupakan limbah yang tidak dapat dimanfaatkan untuk dijadikan sebuah kerajinan. Akan tetapi, di Ngawi,  limbah kayu jati disulap menjadi kesenian yang memiliki nilai seni tinggi dan memiliki nilai jual hingga puluhan juta rupiah.

Salah satu perajin tunggak akar jati adalah Wibi Hanata Janittra.  Pria berusia 27 tahun tersebut, sebagai manajer operasional UD Romansa Furniture & Wooden Art di Desa Jenggrik, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi.  

Romansa didirikan ayah Wibi tahun 1995, memanfaatkan limbah akar jati hasil tebangan dari hutan di kawasan Ngawi dan sekitarnya. Sekarang, usahanya dibantu oleh 12 karyawan yang setiap harinya membuat kerajinan unik dan produk furniture lainnya.   

Unik  dan mempesona, itulah kesan dari kerajinan gembol kayu jati. Kayu limbah yang dahulu hanya dimanfaatkan sebagai kayu bakar, kini setelah diolah menjadi kerajinan bernilai seni tinggi memiliki nilai tambah yang luar biasa. Bahkan, hasil kerajinan kayu limbah itu tak kalah nilainya dengan kayu jati yang diekspor. “Kami juga ekspor hasil kerajinan seni bonggol jati ke berbagai negara seperti ke China, Belgia, Prancis, Maladewa. Beberapa contoh juga pernah kami kirim ke Amerika,” tutur Wibi, panggilan akrabnya. 

Wibi mengatakan, bisa ekspor karena dibantu pemerintah dalam pameran internasional. Misalnya, usahanya diberi stan di  Surabaya maupun Jakarta. Dari pameran kebanyakan para pembeli tahu produknya, kemudian pesan.

Selain kerajinan bonggol kayu jati, dia juga membuat mulai yang terkecil sampai rumah joglo. Joglo di hotel-hotel di Bali dan Lombok, hampir semua bikinannya. 

“Pokoknya kami bekerja kebanyakan atas pemesanan pembeli,” tambah Wibi. 

Tak ada yang tahu pasti kapan masyarakat Ngawi mulai menggeluti usaha kerajinan bonggol jati. Namun, industri ini berkembang pesat sekitar sepuluh tahun terakhir. Perkembangan itu ditandai dengan semakin banyaknya perajin dan makin variatifnya produk yang dihasilkan.

Perajin kebanyakan memperoleh kemampuan melalui belajar otodidak dengan melihat produk serupa yang dihasilkan perajin di daerah lain, seperti Bojonegoro, Madiun, dan Jepara. Selanjutnya, perajin berinovasi dan berkreasi berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan permintaan pembeli. Kondisi bahan baku atau bentuk bonggol turut memberi warna dalam mengkreasikan kerajinan. 

Dengan bahan baku berasal dari tonggak kayu jati yang umurnya sudah tua dan termakan binatang perusak kayu serta didukung  tekstur akar-akar yang berliuk-liuk menjadikan tonggak kayu jati ini semakin unik.  Peminatnya adalah para kolektor benda antik baik dalam maupun luar negeri. Dengan menyesuaikan bentuk tekstur kayu yang ada, maka diukir menjadi berbagai macam bentuk flora dan fauna yang banyak terdapat di hutan  tropis nusantara. (kar/mus/bon)